110.641 Pekerja Imigran Ilegal Dipulangkan ke Tanah Air, 2.597 Orang Dalam Kondisi Meninggal

Pekerja Migran Indonesia Gelar Aksi Demo
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

Makassar - Angka Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang ilegal semakin memprihatinkan. Pasalnya, dari data rekapitulasi Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) sepanjang 2020-2024 menyebut, pekerja migran gelap sudah mencapai 110.641 ribu orang. Dan mirisnya, 2.597 orang di antaranya pulang tak bernyawa.

Adapun di Sulsel sendiri, total mencapai 500 orang PMI ilegal berhasil diselematkan dipulangkan kampung halamannya. Terbanyak PMI gelap berasal dari Kabupaten Bulukumba, kemudian disusul Pinrang, Jeneponto, Bantaeng, Sinjai, Bone dan daerah lainnya.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sulsel, Ardiles Saggaf mengatakan, para pekerja imigran gelap itu berangkat keluar negeri tanpa ada visa pekerjaan. Mereka paling banyak merantau ke negeri Jiran Malaysia.

Raffi Ahmad dan Keluarga Berduka, Istri Piet Pagau Meninggal Dunia

“Mereka nekat berangkat tanpa memiliki visa pekerjaan. Paling banyak itu pergi ke Malaysia karena memang akses paling gampang lewat Nunukan,” ungkap Ardiles kepada wartawan di Hotel Rinra Makasssar, Jumat, 26 Januari 2024.

Pekerja Migran Indonesia Gelar Aksi Demo

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa
Pekerja Sektor Keuangan di Indonesia Alami Stres, Ini 3 Faktor utamanya

Ardiles menjelaskan, di Sulsel sendiri total yang dipulangkan sebanyak 500 orang sepanjang tahun 2023. Penjemputan pekerja imigran Sulsel itu dilakukan dengan koordinasi langsung pihak BP2MI agar segera memulangkan ke kampung halamannya.

"Kalau kami ada sekitar 500 orang PMI (ilegal). Itu sepanjang 2023 tahun kemarin. Jadi kami koordinasi dengan BP2MI memulangkan warga Sulsel yang ada di situ," katanya

Wamenaker Noel Merinding Hadiri Istighosah Sritex: Baru Kali Ini Buruh-Pengusaha Satu Suara

Ardiles menyebut, jika pihaknya akan terus  intens berkoordinasi dengan pihak terkait untuk memantau pergerakan pekerja imigran asal Sulsel. Selain itu, Ardiles mengaku telah membuat sistem layanan terpadu satu atap yang dikoordinasikan dengan pemerintah kabupaten dan kota.

"Kami dari Pemprov sudah membentuk namanya layanan terpadu satu atap. Itu kita bersinergi dan berkolaborasi dengan kabupaten/kota dalam rangka upaya untuk khususnya menyangkut masalah proses kelengkapan administrasi opini kita itu lebih dimaksimalkan," akunya.

Ardiles mengungkapkan bahwa pihaknya akan mempermudah para calon pekerja imigran untuk melengkapi berbagai administrasi yang dibutuhkan melalui sistem layanan terpadu tersebut. Dengan begitu, kata Ardiles, para pekerja imigran nantinya akan mengantongi sertifikat dari Pemprov Sulsel.

“Sekarang semua PMI berangkat ke luar negeri akan dibekali  sertifikat kompetensi. Makanya kami bersinergi seluruh pihak supaya semua kelengkapan bisa lengkap dan tuntas,” tegas Ardiles

Lebih lanjut, dia menambahkan pihaknya terus memantau ketat dengan melibatkan kepolisian, kantor imigrasi dan BP2MI untuk melakukan pengawasan di seluruh pintu keluar bagi para pekerja migran. Termasuk mengawasi ketat jalur yang biasanya dipakai oleh para pekerja migran gelap.

"Kemudian menyangkut masalah pengawasan, kami bersama Polda, Imigrasi, termasuk BP2MI bersatu padu untuk melakukan pengawasan seluruh pintu-pintu keluar," terangnya

Sementara itu, Kepala BP2MI, Benny Rhamdani menyebut bahwa total yang dipulangkan sebanyak 110.641 pekerja migran ilegal. Data itu terhitung sejak 2020. Selain itu, terdapat 2.597 orang dipulangkan dalam kondisi meninggal dunia

"Terhitung dari tahun 2020, dan sekarang sudah awal tahun 2024, kurang lebih sudah 110.641 pekerja migran Indonesia yang dideportasi dari negara-negara. Ada 2.597, mereka yang kembali ke tanah air dalam keadaan meninggal," katanya di Makassar

Benny kemudian menerangkan terkait bahayanya PMI ilegal atau non prosedural. Benny menyebut bahwa pekerja imigran ilegal sangat berpotensi mengalami kekerasan fisik, seksual hingga pemberhentian sepihak. Termasuk korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Hal itu jelas menyalahi hak asasi manusia. Sebab, korban perdagangan manusia berpotensi menerima upah rendah lantaran tidak adanya perjanjian kerja.

“Mereka juga berisiko dieksploitasi bahkan 20 jam bekerja. Padahal, pekerjaan resmi cukup hanya 10 jam saja,” katanya

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya