Apakah Galon AMDK Sekali Pakai Sumbang Banyak Sampah Plastik? Riset Ungkap Faktanya
- ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Jakarta – Galon kemasan sekali pakai yang digunakan Le Mineral sering jadi sasaran kampanye negatif beberapa waktu ini. Produk PT Tirta Fresindo Jaya itu belakangan ini dicap sebagai baban lingkungan lantaran wadah plastiknya hanya sekali pakai dan ukurannya juga jumbo ketimbang kemasan plastik air mineral lainnya.
Riset terbaru Net Zero Waste Management Consortium yang dipublikasikan pada akhir tahun lalu, menjabarkan bahwa dari investigasi audit sampah secara serentak di enam kota, termasuk Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Samarinda dan Bali, pada 2022, tim peneliti lapangan lembaga tidak mendapati adanya sampah galon Le Minerale di tempat pembuangan akhir sampah di enam kota tersebut.
Lead researcher Net Zero Ahmad Syafrudin dalam keterangannya menjabarkan, dalam sebuah laporan bertajuk 'Potret Sampah 6 Kota', konsorsium riset berbasis Jakarta itu menyebutkan justru sampah gelas plastik sejumlah brand minuman ternama ditemukan dalam volume yang besar di banyak site. Baik di bak/tong sampah, Tempat Pembuangan Sementara (TPS), truk sampah, Tempat Pembuangan Akhir (TPA), badan-badan air, tanah kosong, tepi jalan, pesisir, laut, dan banyak lagi.
"Sampah kemasan produk konsumen ukuran kecil memang selalu jadi masalah terbesar di setiap TPA di enam kota besar tersebut,' kata Ahmad dikutip dari keterangannya, Sabtu, 20 Januari 2024.
Dia menjabarkan pada daftar sepuluh besar brand yang sampahnya paling banyak ditemukan, laporan riset menyebut porsi terbesar (59.300 buah) ada pada serpihan plastik berbagai merek yang sudah tidak bisa diidenfikasi. Peringkat setelahnya adalah sampah kantong kresek (43.957 buah) dan di urutan ketiga sampah bungkus mie instan (37.548).
“ Meski secara tonase terlihat kalah dari sampah organik rumah tangga, faktanya sampah anorganik seperti kemasan plastik produk konsumen jauh lebih makan tempat dan volumenya selalu besar, mau itu gerobak pemulung, TPS, truk sampah, TPA, pinggir sungai dan sebagainya."
Menurut Ahmad, temuan riset ini mengindikasikan program pengurangan sampah oleh pemilik brand belum efektif. Dalam skema Extended Producer Responsibility atau EPR, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 75 Tahun 2019 mengatur perluasan tanggung jawab produsen atas seluruh daur hidup produknya, terutama terkait pengambilan kembali (take back), daur ulang dan pembuangan akhir sampah produk.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan up sizing. Di mana produsen didorong untuk meninggalkan kemasan ukuran kecil dan beralih ke kemasan dengan ukuran yang lebih optimum untuk mengurangi potensi timbulan sampah.
Sampah botol produk minuman, seluruhnya menggunakan kemasan plastik Polietilena Terefatalat, sebenarnya bernilai ekonomis sehingga tak seharusnya tercecer di pembuangan sampah atau lingkungan terbuka. Masalahnya, kata Ahmad, bank sampah, yang digadang-gadang menjadi tulang punggung dalam skema Circular Economy (CE) pengelolaan sampah, belum berjalan efektif di semua kota.
"Kami menndapati bank sampai di banyak kota belum efektif menyerap sampah dengan residual value tinggi sekalipun, karena sebagian besar masih bekerja ala kadarnya. Demikian halnya pemulung dan pelapak hanya menyerap sampah dengan residual value tinggi saja, sementara sampah dengan residual rendah dibuang ke TPS/TPA/pinggir jalan/badan-badan air bahkan dibakar (open burning)," katanya.
Ahmad juga menegari ketidakjelasan terkait implementasi ERP dan CR menjadikan kalangan produsen leluasa mencitrakan dirinya sebagai korporasi yang ramah lingkungan, meski faktanya jauh dari itu.
"Pemerintah perlu meningkatkan panduan dan bimbingan teknis pelaksanaan EPR dan CE agar program ini lebih efektif dan bahkan mampu mengatasi bias pada claim sepihak oleh yang memperoleh amanat (produsen) dengan modus pencitraan perusahaan semata," katanya.
Lebih lanjut menurutnya, riset itu menunjukkan sampah Le Minerale tak ada dalam daftar 10 besar brand produk konsumen yang sampahnya paling banyak ditemukan di enam kota. Dua peringkat terbawah dalam daftar tersebut adalah sampah saset shampo dan bungkus kopi instan. Secara keseluruhan, sampah kesepuluh brand makanan dan minuman tersebut mencapai 17 persen dari total sampah yang berhasil diidentifikasi dalam riset.