Tekan Deforestasi ke Titik Terendah, Begini Cara KLHK
- ANTARA FOTO/FB Anggoro
Jakarta – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan pemantauan hutan dan deforestasi setiap tahun. Pemantauan hutan dan deforestasi ini dilakukan pada seluruh daratan Indonesia seluas 187 juta hektare, baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, dan berdasarkan pada peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dalam program Kebijakan Satu Peta (KSP).
Hasilnya, Indonesia telah berhasil menurunkan angka deforestasi sampai titik terendah pada tahun 2021-2022 sebesar 104 ribu ha. Sementara, deforestasi Indonesia tahun 2020-2021 adalah sebesar 113,5 ribu ha, atau terjadi penurunan 8,4 persen.
Indonesia mulai menghitung tingkat deforestasi sejak tahun 1990. Faktanya, deforestasi tertinggi terjadi pada periode tahun 1996 sampai 2000, sebesar 3,5 juta ha per tahun, periode 2002 sampai 2014 sebesar 0,75 juta ha per tahun, dan mencapai titik terendah laju deforestasi pada tahun 2022 sebesar 104 ribu ha.
Menurut data World Resources Institute Global, dikutip Kamis, 18 Januari 2024, deforestasi terendah dicapai di era Jokowi. RI sebagai negara nomor satu tingkat penurunan deforestasinya di dunia sebesar 65 persen.
Artinya, berbagai upaya yang dilakukan Kementerian LHK akhir-akhir ini menunjukkan hasil yang signifikan. Antara lain, penerapan Inpres Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
Kemudian, pengendalian kerusakan gambut, pengendalian perubahan iklim, pembatasan perubahan alokasi kawasan hutan untuk sektor non kehutanan (HPK), dan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH/TORA). Kemudian pengelolaan hutan lestari, perhutanan sosial, serta rehabilitasi hutan dan lahan. Hal ini seiring dengan program Indonesia FOLU netsink 2030.
Sementara itu, data hotspot dan luas karhutla menjadi indikasi keberhasilan upaya pengendalian karhutla di Indonesia. Pada tahun 2015, data hotspot dari satelit Terra/Aqua (MODIS NASA) 70.971 titik, 2016: 3.844 titik, 2017: 2.440 titik, 2018: 9.245 titik, 2019: 29.341 titik, 2020: 2.568 titik, 2021: 1.451 titik, 2022: 1.297 titik, dan 2023: 10.673 titik.
Dijabarkan pula, ten penurunan titik panas ini, juga ekuivalen dengan luas area yang terbakar. Luas Kebakaran Hutan dan Lahan tahun 2015 s/d 2023 berdasarkan citra satelite landsat 8 OLI/TIRS yang di overlay dengan data sebaran hotspot. Serta laporan hasil groundchek hotspot dan laporan pemadaman yang dilaksanakan Manggala Agni sebagai berikut: 2015: 2.611.411 ha, 2016: 438.368 ha, 2017: 165.484 ha, 2018: 529.267 ha, 2019: 1.649.258 ha, 2020: 296.942 ha, 2021: 358.864 ha,2022: 204.896 ha, 2023: 994.313 ha.
Data KLHK juga menunjukan, kebakaran hutan dan lahan tahun 2023 berhasil ditekan lebih kecil sebesar 30,80 persen dibandingkan tahun 2019 dengan pengaruh El-Nino yang hampir sama, bahkan kondisi 2023 lebih kering. Kondisi ini telah diantisipasi melalui berbagai upaya pencegahan karhutla sejak awal tahun.
Kondisi ini dapat menjadi indikasi adanya keberhasilan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang efektif. Kenaikan hotspot yang terjadi pada tahun 2019 dan tahun 2023 disebabkan oleh adanya El Nino. Namun, kita berhasil memitigasi fenomena El Nino sehingga jumlah hotspot dan luas tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya. Jika dibandingkan karhutla tahun 2019 dengan kondisi akibat dampak El-Nino yang serupa dengan tahun 2023, luas karhutla tahun 2023 masih jauh menurun.
Indonesia juga berhasil menekan kejadian karhutla khususnya di lahan gambut sehingga terjadi penurunan luas karhutla dari gambut. Pada tahun 2015 terdapat luas karhutla di lahan gambut seluas 891.275 hektare atau 34 persen dari total luas karhutla, tahun 2019 turun menjadi 483.111 hektar atau 30 persen dari total luas karhutla.
Kemudian pada tahun 2023 semakin turun menjadi 182.789 hektare atau 16,38 persen dari total luas karhutla. Selain itu, pengaturan tinggi muka air tanah 0,4 m ternyata tidak menyebabkan penurunan produktivitas perkebunan sawit. Penelitian menunjukkan terjadi peningkatan produktivitas antara 13-30 persen.
Semantara itu, data Pemerintah mencatat bahwa luas kebakaran hutan dan lahan dari tahun 2015 menunjukkan tren menurun sampai dengan Oktober 2023. Sejak kejadian karhutla tahun 2015 (baseline) dengan adanya perubahan paradigma pengendalian karhutla sampai dengan sekarang luas karhutla di Indonesia menurun signifikan 94% - 37%.
Sebagai konsekuensi maka emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan oleh Indonesia, tidak lagi sebesar di tahun-tahun sebelumnya seperti pada kondisi 2015 dan 2019, sehingga Indonesia tidak lagi menjadi negara peng-emisi 5 terbesar secara global, bahkan pada tahun 2021 tercatat peng-emisi pada ranking ke-9 dengan angka penurunan emisi 890 juta Ton CO2eq.
Sementara iut, menurut data Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) dari Uni Eropa, menunjukkan bahwa Indonesia tidak termasuk ke dalam kelompok negara-negara penyumbang emisi terbesar dari kebakaran hutan dan lahan. Negara-negara maju, seperti AS dan Kanada, termasuk di dalam kelompok tersebut.
Meski begitu, Pemerintah tetap konsisten menjalankan berbagai upaya untuk mencegah karhutla, mulai dari monitoring, penetapan kebijakan, pencegahan, hingga penegakan hukum. Pada tahun 2024, kami sudah merencanakan upaya mitigasi kejadian karhutla dengan meningkatkan upaya-upaya pengendalian karhutla dengan melaksanakan patroli terpadu, TMC, monitoring hotspot, dan pemberdayaan masyarakat yang berada di wilayah rawan karhutla.