Indeks Demokrasi Indonesia Semakin Menurun, Pakar Bilang Begini

Ilustrasi mahasiswa demo BBM
Sumber :
  • VIVA/Fajar Sodiq

Jakarta – Pertanyaan mengenai bagaimana dan kemana masa depan Indonesia muncul seiring dengan dinamika politik dan ekonomi akhir-akhir ini. Kondisi pertama yang menjadi pertimbangan serius adalah terkait proses demokrasi di era Presiden Jokowi

Mahasiswa Kudus Kawal Pilkada 2024 Berjalan Jurdil, Siap Laporkan Jika Terjadi Kecurangan

Berbagai laporan dan analisis dari lembaga pemantau demokrasi, menunjukkan penurunan indeks kebebasan demokrasi di Indonesia.

“Banyak analisis menggambarkan kondisi yang mengkhawatirkan tentang pembatasan kebebasan sipil dan penegakan hukum yang cenderung diskriminatif. Perlu refleksi serius terhadap hal tersebut,” kata pemerhati isu-isu global dan strategis, Prof Imron Cotan, dalam keterangannya yang dikutip Kamis, 11 Januari 2024

Prof Ikrar: Tanpa Keberanian Rakyat Takkan Ada Perubahan, Lawan Pengerahan Aparat di Pilkada Sumut

Ilustrasi/Aksi Damai memperingati hari kebebasan pers

Photo :
  • VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis

Selanjutnya adalah korupsi yang semakin merajalela. Kasus-kasus besar seperti skandal korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara telah menjadi berita utama, menandakan bahwa korupsi masih tetap menjadi masalah besar. Apalagi, pertumbuhan ekonomi stagnan pada kisaran 5 persen, yang menyulitkan Indonesia keluar dari "middle-income trap".

Prabowo Tiba di Brasil Hadiri KTT G20

Menurut Imron, integritas pemilu dan regresi demokrasi menjadi topik pembahasan penting di masyarakat luas. Persepsi publik terhadap peluang kecurangan yang mungkin terjadi semakin berkembang, yang dapat mengikis kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi dan mengancam legitimasi pemerintahan. 

Kekhawatiran yang sama juga dideteksi oleh dunia internasional, seperti tercermin pada artikel-artikel yang diterbitkan oleh The New York Times, The Guardian, dan The West Australian beberapa hari belakangan ini. Mereka benar-benar mengkhawatirkan fenomena regresi demokrasi Indonesia, dan politik dinasti yang dinarasikan dibangun Presiden.

Menjawab pertanyaan siapa kandidat yang akan mampu membawa Indonesia menggapai Indonesia Emas 2045, Prof. Imron tegaskan bahwa capres yang tepat adalah yang tidak punya rekam jejak pelanggaran HAM berat dan yang memanfaatkan isu primordial untuk mencapai tujuan politik.

Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting, Sirojudin Abbas mengatakan, bantuan sosial dipolitisasi untuk tujuan-tujuan politik pemenangan paslon yang didukung Presiden Jokowi. 

Sirojudin juga berpendapat, pengucuran bansos dilakukan karena Presiden menyadari bahwa kepuasan terhadap kinerjanya tidak baik pada beberapa aspek, seperti rendahnya penciptaan lapangan kerja dan masih jauhnya penurunan angka kemiskinan, serta akses terhadap sektor kesehatan.

Mengenai kandidat capres ideal, Sirojudin mengatakan masyarakat perlu melihat dari tiga pasangan calon itu, mana calon yang paling kecil risikonya bagi bangsa Indonesia.

Tiga Paslon Capres-Cawapres untuk Pilpres 2024

Photo :
  • VIVA

Sementara itu, Johan Silalahi, pendiri Negarawan Center menyesalkan Presiden Jokowi saat ini ikut cawe-cawe dalam Pilpres, yang berpotensi melanggar konstitusi. Siapapun yang mendukung Jokowi pada periode awal pemerintahannya tentu kecewa dengan sikap tersebut. 

“Dulu saya berjuang mati-matian menjadikan Presiden Jokowi dari bukan siapa-siapa menjadi seorang tokoh (from zero to hero). Sangat disayangkan justru dia saat ini ikut cawe-cawe dalam pilpres, yang berpotensi melanggar konstitusi. 

Johan mengatakan, dirinya bertekad berjuang sekuat tenaga agar Indonesia mampu mencapai masa depan yang gemilang.

Mukhaer Pakkanna, ekonom Muhammadiyah mengatakan, dalam bidang ekonomi, keadilan sulit tegak karena adanya sikap intoleransi ekonomi pemilik modal raksasa yang secara populasi jumlahnya minoritas terhadap populasi mayoritas yang secara ekonomi berjumlah minoritas.

Mukhaer juga menyebut istilah 'dwifungsi oligarki' yaitu kawinnya politik dan bisnis. “Mereka yang memiliki kekuatan ekonomi akibat akumulasi modal di tangan segelintir orang yang justru minoritas secara populasi, harus sadar terhadap bahayanya eksplosi atau ledakan sosial jika ketidakadilan dan ketimpangan kekuatan ekonomi ini tidak terdistribusi dengan baik,” kata Mukhaer.

Disamping itu, terdeteksi kegagalan pemerintah untuk menaikkan tingkat pendidikan SDM Indonesia yg mayoritas hanya lulusan SMP. "Oleh karena itu, tidak heran industri yang berkembang hanya industri ekstraktif, yang lebih menggunakan otot daripada otak," ujarnya

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya