Kasus Perceraian Melonjak, Sebanyak 2.030 Janda Baru Bertebaran di Kota Daeng
- pixabay/Kadie
Makassar - Kasus perceraian di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) terus meningkat. Tercatat, jumlah janda sepanjang 2023 mencapai 2.030 orang. Mereka disebut mengajukan permohonan cerai gugat dan cerai talak yang sudah diputuskan lewat sidang di Pengadilan Agama (PA) Kelas 1A Makassar.
Panitera Pengadilan Agama, kelas 1A Makassar, Imran menjelaskan kasus perceraian tahun 2023 meningkat jika merujuk dari data penceraian di tahun 2022 lalu yang berkisar hanya 2 ribuan.
"Total berdasarkan akta cerai yang terbit sepanjang 2023 ini berjumlah 2030 kasus," kata Imran saat ditemui di kantornya di Jalan Perintis Kemerdekaan, Selasa 9 Januari 2023.
Imran jelaskan kasus perceraian di Kota Daeng itu didominasi pemicu adanya perselisihan atau pertengkaran. Mayoritas penggugat dari perempuan dengan rentang usia mulai 25 sampai 40 tahun.
"Jadi, yang menggunggat itu mayoritas perempuan. Artinya, dilayangkan oleh istri, karena istri merasa keberatan sehingga dia menggugat ke PA," sebut Imran.
Pun, dia menuturkan, kasus terbanyak dalam kasus perceraian terbanyak di bulan Oktober sebanyak 233 kasus perceraian, Januari 179 kasus, Februari 180, Maret 174, April 109, Mei 118. Lalu, Juni tercatat 147, Juli 216, Agustus 159, September 150, Oktober 233, November 188, dan Desember 177.
Imran menyampaikan penyebab perceraian itu cukup bervariatif. Mulai dari perselisihan, kekerasan dalam rumah tangga, kawin paksa dan masalah ekonomi, murtad hingga perselingkuhan.
Namun, dia menuturkan faktor yang mendominasi adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus melanda rumah tangga dengan total mencapai 1.911 kasus. Kemudian, disusul faktor pangan yang artinya meninggalkan salah satu pihak tanpa tanggung jawab lagi itu sebanyak 53 kasus.
Selanjutnya, ada persoalan ekonomi 44 kasus, kejadian terkait KDRT 10 kasus. Lalu, disusul masalah murtad atau pindah agama 6 kasus. Kemudian, ditengarai ulah mabuk 5 kasus, dan persoalan poligami 1 kasus. Sementara, faktor lain seperti kasus zina, judi, madat, dihukum pernjara, kawin paksa, cacat badan, nol kasus.
"Mendominasi kasus itu pertengkaran atau perselisihan. Artinya itu ada sebagian besar suami mau enak, susah anak artinya mau enak saja. Tapi, memberikan anak itu susah. Jadi, memang fenomena seperti itu, atau perkara cerai gugatnya itu didominasi perempuan," katanya.
Dia juga menyebut ada pemicu lain seperti ada suami atau istri yang meninggalkan pasangannya.
"Ada juga faktor perceraian karena sosial media, maksudnya ada kedapatan chat lain menimbulkan kecemburuan perselisihan karena pihak ketiga, faktor ekonomi juga ada penyebab, tapi praktis tidak terlalu," ujarnya.
Imran menuturkan, faktor perselisihan yang mendominasi sebenarnya ada beberapa rentetan. Kata dia, bukan hanya persoalan faktor soal nafkah, atau pun karena kelalaian. Begitu juga bukan karena faktor ekonomi tapi lebih tanggungjawab saja sehingga mereka berselisih paham.
Selanjutnya, dia menyebut hal itu terkait faktor murtad. Menurut dia, faktor itu karena ada salah satu yang keluar dari agama atau keyakinan Islam. Menurut dia, mungkin ini perselisihan juga terjadi karena sesuatu lain hal. Kemudian, karena adanya juga perselingkuhan antara mereka.
"Faktor lain dari perselisihan itu juga karena soal perselingkuhan, ada salah satu dari mereka menjalin asmara ke pihak lain," ujarnya.
Imran menambahkan, sebenarnya hak talak itu sudah jelas ada pada suami. Namun, karena fenomena yang terjadi justru istri merasa terabaikan, sehingga hak-haknya tak terpenuhi sehingga suami digugat ke PA Makassar untuk menuntut haknya.
"Kadang ada orang berpandangan kenapa banyak perempuan atau istri lakukan gugatan di PA, hal ini disebabkan karena suami yang lalai dari kewajiban," tuturnya.