Sejumlah Aktivis Berorasi di UIN Jakarta, Soroti soal Demokrasi di Indonesia
- Istimewa
Jakarta – Sejumlah tokoh nasional dan aktivis menyampaikan orasinya dalam acara Refleksi Akhir Tahun dan Mimbar Bebas yang digelar oleh Aliansi Mahasiswa UIN Jakarta di halaman Senat Mahasiswa UIN Jakarta.Â
Sejumlah tokoh tersebut diantaranya ekonom, Faisal Basri, Ahli Tatanegara, Bivitri Susanti, pengamat politik Ray Rangkuti dan direktur eksekutif Internasional NGO Forum on Indonesia Development (INFID), Iwan Misthohizzaman.
Dalam orasinya, deretan tokoh nasional tersebut menyampaikan keprihatinan dan kekecawaannya terhadap perjalanan demokrasi di Indonesia yang disebut sedang mengalami kemunduran serius.
Disebutkan oleh para tokoh, kekuasaan eksekutif yang sangat dominan dan upaya untuk melanggengkan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, dinilai menyerupai praktek politik rezim orde baru.Â
"Kita harus meyakinkan rakyat bahwa kita ini berada di gerbang bencana. Mari kita pastikan kegagalan dan kebobrokan pemerintahan Jokowi itu tidak boleh diwariskan untuk dilanjutkan," kata Faisal, yang dikutip Sabtu 30 Desember 2023.
Sementara itu, aktivis INFID Iwan Misthohizzaman menyoroti pentingnya konsolidasi kembali gerakan civil society untuk mengawal demokrasi agar krisis tidak berkelanjutan. Lemahnya gerakan civil society untuk menjadi penyeimbang kekuasaan dapat mempercepat kematian demokrasi.Â
Padahal, menurut pria yang akrab disebut Iwan ini, secara historis gerakan civil society di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam melawan dominasi kekuasaan. Iwan menyebut mahasiswa adalah motor utama dalam gerakan civil society itu.
"Kita harus mengambil sikap untuk menolak semua hal yang membuat kemunduran untuk negeri ini, karena sejarah hanya mencatat tokoh, bukan penonton atau pengekor. Maka buatlah nama kalian menjadi sejarah yang baik di negara ini," kata Iwan.
Hal senada disampaikan oleh pengamat politik Ray Rangkuti yang melihat netralitas pemilu sudah tidak dapat diharapkan lagi karena Presiden dinilai telah terlampau jauh menghegemoni hampir semua kekuatan politik.Â
Menurut Ray, kondisi ini akan semakin parah ketika pasangan calon yang didukung oleh presiden memenangkan pemilu. Hal ini akan menyengsarakan rakyat.
"Tidak ada nepotisme yang dibuat untuk kepentingan negara, nepotisme hanya bertujuan untuk memakmurkan keluarganya, dan dinasti politik itu tidak akan mensejahterakan rakyat tapi justru akan menyengsarakan rakyat," ujarnya.
Sementara itu, Bivitri Susanti mempersoalkan masa depan supremasi hukum di Indonesia. Menurutnya, penguasa yang abai akan etika, akan membuat kesalahan besar dalam penegakan hukum.
"Jika hukumnya tidak adil apakah masih bisa disebut ada supremasi hukum," ujarnya.