Mengapa Warga Tionghoa Tidak Boleh Memiliki Tanah di Kota Yogyakarta?
- VIVA/Cahyo Edi
VIVA Nasional – Terkenal sebagai pusat seni dan pendidikan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menawarkan pesona tradisional dengan istana kerajaan, candi-candi megah seperti Borobudur dan Prambanan, serta kesenian tradisional seperti wayang kulit dan batik.
Selain itu, suasana kota ini diwarnai oleh kehidupan malam yang animatif dan kehangatan masyarakatnya.
Memiliki embel-embel nama 'istimewa' Yogyakarta (DIY) tentu memiliki keistimewaan dalam berbagai aspek, termasuk regulasi terkait kepemilikan tanah.
Salah satu aturan yang unik, dan mungkin jarang diketahui oleh masyarakat Indonesia adalah bahwa, di wilayah ini, ada larangan bagi warga keturunan Tionghoa untuk memiliki hak milik atas tanah di sana.Â
Artian tidak boleh memiliki tanah tersebut adalah sebagai hak milik, keturunan China hanya boleh punya Hak Pakai atau Hak Guna Bangunan (HGB) saja.
Larangan warga keturunan etnis Tionghoa untuk memiliki tanah di Jogja ternyata sudah ada sejak zaman Sultan Hamengkubuwono (HB) IX.
Aturan ini memiliki latar belakang sejarah panjang yang erat kaitannya dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Melansir dari laman itb-ad.ac.id, mendiang Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Raja Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur DIY pada masa itu, dikenal sebagai pemimpin yang merakyat dan sangat dicintai oleh rakyatnya.
Pada mulanya ini terjadi pada tahun 1948 atau tahun ketika mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Tepatnya pada Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer II dan komunitas Tionghoa malah memberikan dukungan kepada mereka. Ketika itu, etnis Tionghoa malah membantu pasukan Belanda yang menginginkan kembali penjajahan.
Sejak itu, Sultan Hamengkubuwono IX mencabut hak kepemilikan tanah terhadap warga Indonesia keturunan Tionghoa.
Kemudian pada tahun 1950, Indonesia kembali tegak berdiri dan berhasil mempertahankan kemerdekaan. Para etnis Tionghoa pun akan melakukan eksodus, tetapi Sultan Yogya masih baik dan memberikan kesempatan mereka untuk tetap tinggal.
Larangan tersebut kemudian diperkuat oleh Paku Alam VIII pada tahun 1975 yang menerbitkan surat instruksi kepada bupati dan walikota. Surat instruksi tersebut berisikan ketidakbolehan memberikan surat hak milik tanah kepada warna 'non-pribumi'.
Saat ini, juga sudah ada payung hukum mengenai larangan tersebut yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.