BEM ISI Yogyakarta Desak Anwar Usman Mundur dari Jabatan Hakim MK
- MK
Yogyakarta - Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Seni Indonesia (BEM ISI) Yogyakarta mendesak Anwar Usman mundur dari jabatannya sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam pernyataan sikapnya, BEM ISI Yogyakarta menolak dan mengutuk praktik dinasti politik yang dipertontonkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui iparnya, Anwar Usman, sebagai Ketua MK sebelum dicopot.
“Penolakan ini tertuju pada putusan mahkamah konstitusi yaitu Nomor: 90/PUU-XXI/2023 yang secara terang-terangan hanya dipergunakan sebagai alat pelanggeng kekuasaan atas keserakahan,” kata Arya Dewi Prayetno selaku Presiden Mahasiswa ISI Yogyakarta, Sabtu, 18 November 2023.
Menurut Arya, putusan terkait batas usia capres-cawapres tersebut jelas memuluskan langkah putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres tahun 2024 ini.
Namun, kata Arya, putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang hanya mencopot Anwar Usman sebagai Ketua MK memberikan ruang berkembangnya dinasti politik di Indonesia. Sebab itu BEM ISI Yogyakarta menegaskan seharusnya Anwar Usman mundur atau dipecat dari Hakim MK.
“Kecaman keras kami, perlu kami sampaikan terhadap Anwar Usman yang kini telah dipecat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi yang seharusnya dipecat sebagai atu mundur dari jabatannya sebagai hakim Mahkamah Konstitusi karena telah melanggar etik yang berat atas Pasal 169 huruf q UU Pemilu,” katanya.
Arya mengatakan, penolakan dan desakan ini lahir dari tanggung jawab mahasiswa sebagai masyarakat intelektual untuk merawat nurani demokrasi dengan tidak membiarkan terjadinya politik kotor.
Arya pun mengajak seluruh elemen BEM di daerah dan seluruh Indonesia untuk terus konsern menolak putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023.
Tak hanya itu, Arya juga mendorong semua pihak untuk kritis melakukan eksaminasi terhadap putusan tersebut yang dinilai bermasalah secara konstitusional.
“Dan galang dukungan terhadap perkara No. 141/PUU-XXI/2023 permohonan Brahma Aryana Mahasiswa Fakultas Hukum Unusia, sehingga pasal 169 huruf q UU pemilu selengkapnya berbunyi, ‘Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi’ sebagai bentuk perlawanan atas putusan 090 yang kami lihat itu sebagai awal dari politik dinasti,” pungkasnya