Dinamika Geopolitik Terus Berkembang, RI Mesti Dorong Gagasan Poros Maritim Dunia
- ANTARA FOTO/Aji Styawan
Jakarta – Rivalitas negara adidaya yang tak mereda berimbas terhadap instabilitas global. Kondisi itu dikhawatirkan menghambat laju pembangunan internasional yang saat ini masih dalam pemulihan pasca Pandemi COVID-19.
Demikian isu itu dibahas dalam Seminar bertema 'Rivalitas Strategis dan Dinamika Geopolitik' yang digelar Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) berkolaborasi bersama dengan Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Mulawarman (Unmul).
Analis Politik dan Keamanan LAB 45 Omar Farizi W menyampaikan kondisi persoalan global saat ini ditambah konflik terbuka di belahan dunia seperti perang Rusia-Ukraina, Palestina-Israel, hingga Konflik Laut Tiongkok Selatan). Menurut dia, RI sebagai selaku salah satu negara besar di Indo-Pasifik, mesti memainkan perannya sebagai stabilisator dari perkembangan geopolitik yang dinamis.
Omar Farizi menuturkan berdasarkan hasil kajian LAB 45 bahwa dalam periode 5 sampai 10 tahun ke depan persaingan antarnegara adidaya akan terus berlangsung. Persaingan itu diprediksi dengan bentuk dan bidang yang makin meluas.
Dia menyebut kondisi itu diperburuk dengan konstelasi poros global yang multipolar. Kata Omar, hal itu memiliki kerentanan yang menuai friksi berujung konflik dalam proses pergeseran tatanan dunia baru.
Menurut dia, untuk menghadapi dan mengamankan kepentingan nasional RI, maka perlu diupayakan beberapa hal. Pertama, ia menyebut perlu meningkatkan kapasitas-pengaruh Indonesia agar dapat berikan ruang gerak lebih besar RI sebagai stabilisator kawasan berdasarkan prinsip politik luar negeri bebas-aktif.
"Mengedepankan penegakan dan pembentukan norma-hukum internasional khususnya yang mendukung poros maritim dunia. Dan, ketiga menguatkan inisiatif pengaturan kawasan yang solid, konsisten, dan berorientasi kerja sama multilateral dalam menengarai perselisihan geopolitik," kata Omar, dalam keterangannya, Kamis, 26 Oktober 2023.
Pun, dia menyebut yang keempat adalah memantapkan relasi bilateral RI dengan kelompok negara yang sepemahaman dan seperjuangan seperti ASEAN.
Sementara, dosen Hubungan Internasional UNPAR Adrianus Harsawaskita menjelaskan rivalitas strategis dalam tatanan geopolitik mengharuskan RI bisa berkontribusi aktif dengan menjaga hubungan yang strategis dengan negara adidaya.
Bagi dia, RI punyai peluang untuk bertindak aktif dengan mendorong kerja sama pada kedua negara adidaya yatu Amerika Serikat dan Cina untuk bisa menciptakan kebijakan luar negeri bebas-aktif yang pragmatis.
"Hal ini dikarenakan dinamika geopolitik semakin berkembang dan tidak hanya dapat dipandang sebagai sebuah hubungan kawasan dan perlu dibingkai ulang sebagai perebutan ruang dalam konteks global," jelas Adrianus.
Dia bilang kebijakan luar negeri RI saat ini perlu melawan dengan geopolitik kritis. Caranya menentang upaya pengkotak-kotakan yang terjadi di dunia dengan memanfaatkan modalitas hubungan bilateral RI seperti kerja sama ekonomi dengan Cina dan militer bersama Amerika Serikat.
"Tidak cukup pelaksanaan instrumen kebijakan bebas-aktif yang menjaga netralitas dan sentralitas ASEAN dalam menghadapi kontestasi geopolitik klasik," ujarnya.
Adapun, Dosen Hubungan Internasional UNMUL Uni W Sagena menuturkan peran negara mesti jadi fokus utama dalam dinamika geopolitik yang semakin berkembang. Menurut dia, hal itu seperti persaingan strategis terkait perebutan sumber daya misalnya energi.
Lebih lanjut, dia menyoroti meningkatnya kompleksitas dinamika geopolitik ini disebabkan oleh pergeseran tren energi dunia dari Utara ke Selatan. Dia menyebut pergeseran ini mengakibatkan peningkatan intensitas interaksi antara berbagai negara. Imbasnya hal itu mendorong terbentuknya aliansi dan rivalitas di antara negara dan kawasan.
"Perebutan sumber daya oleh negara-negara adidaya menjadi pendorong utama dalam upaya perluasan pengaruh mereka di berbagai kawasan," tuturnya.
Maka itu, menurut dia ada hikmah pembelajaran dari rivalitas negara adidaya. Pembelajaran itu akan jadi tantangan bagi RI di masa mendatang.
"Terutama dalam konteks pembangunan IKN yang memiliki potensi ancaman dari ALKI 2," lanjut Uni.
"Oleh karena itu, penting bagi Indonesia kembali mendorong gagasan poros maritim dunia dan meningkatkan kemandiriannya dalam menanggapi dinamika geopolitik yang terus berkembang," jelas Uni.