Fahri Bachmid Gugat UU Mahkamah Konstitusi soal Syarat Jadi Hakim MK

Pakar hukum tata negara dan konstitusi Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid
Sumber :
  • ANTARA

Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Akademisi Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Dr. Fahri Bachmid, mengajukan permohonan uji materi (judicial review) terhadap ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (MK). 

Dugaan Kecurangan di Pilkada Jayawijaya Dilaporkan ke MK

Perkara yang tersebut register Nomor 81/PUU-XXI/2023, pada hari ini kamis, 24 Agustus 2023 itu mulai disidangkan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. 

Pada perkaranya, Fahri Bachmid menunjuk Advokat Viktor Santoso Tandiasa, Agustiar, serta Nur Rizqi Khafifah dari Kantor VST and Partners, Advocates & Legal Consultans. 

Eks Ketua KPK Nawawi Pomolango jadi Ketua PT Banjarmasin, Albertina Ho Wakil Ketua PT Banten

Persidangan panel dipimpin oleh Prof. Dr. Saldi Isra, S.H. sebagai Ketua Majelis, Manahan M. P. Sitompul, dan Guntur Hamzah selaku hakim anggota.

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).

Photo :
  • vstory
Gugatan Praperadilan Hakim Vonis Bebas Ronald Tannur Ditolak, Begini Alasannya

Fahri Bachmid dalam persidangan menyebut bahwa perubahan syarat minimal usia untuk menjadi hakim konstitusi yang dilakukan pembentuk UU, dalam dua kali perubahan, terhadap syarat minimal usia menjadi hakim konstitusi selalu dilakukan perubahan tanpa alasan dan penjelasan yang jelas serta mendasar secara akademik dan reasonable. 

Beberapa perubahan syarat minimal usia untuk menjadi hakim Konstitusi dalam UU No 24 Tahun 2003 Pasal 16 ayat (1) huruf c, Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi seorang calon harus memenuhi syarat: berusia sekurang-kurangnya 40 tahun pada saat pengangkatan; kemudian dalam UU No 8 Tahun 2011 Pasal 15 ayat (1) huruf d , untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1): berusia paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada saat pengangkatan.

Terakhir, dengan UU No. 7 Tahun 2020 Pasal 15 ayat (2) huruf d, disebutkan untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang hakim konstitusi harus memenuhi syarat: berusia paling rendah 55 tahun dan kondisi saat ini UU 7 tahun 2020 pun sedang dalam proses perubahan dimana terhadap syarat minimal usia untuk dapat mencalonkan sebagai hakim Konstitusi menjadi salah satu pasal yang masuk dalam rencana perubahan dari usia 55 berpotensi akan diubah dan dinaikan menjadi 60 tahun. 

Fahri berpendapat bahwa perubahan yang terus terjadi menciptakan ketidakkepastian hukum yang tak adil baginya. 

“Dimana semakin jauh dan semakin lama untuk dapat menjadi hakim Konstitusi serta tidak ada kepastian hukum karena cenderung sering terjadi perubahan-perubahan, dan dalam batas penalaran yang wajar suatu ketika ketika saya menjadi Hakim Konstitusi, tentunya akan mengalami keadaan yang sama yakni mendapatkan ketidakpastian hukum atas perubahan-perubahan usia minimal menjadi hakim konstitusi ataupun usia maksimal menjadi hakim konstitusi,” ujarnya.

Fahri Bachmid mengutip pendapat Saldi Isra dalam Putusan 112/PUU-XX/2022 pada bagian Concurring Opinion "bahwa ada kecenderungan dari pembentuk undang-undang yang seringkali mengubah persyaratan usia minimum ataupun maksimum bagi pejabat publik yang telah diatur di dalam undang-undang tanpa memiliki landasan filosofis ataupun sosiologis yang kuat dan jelas. Hal ini mengakibatkan potensial terjadinya ketidakpastian hukum bagi pejabat publik yang terkait, baik yang berkenaan dengan masa jabatannya ataupun yang berkenaan dengan kesempatannya untuk mencalonkan diri kembali pada periode berikutnya, Ketidakpastian hukum ini kemudian dapat juga berimbas pada terganggunya kinerja pejabat negara yang bersangkutan, bahkan juga terhadap kinerja lembaga negara ataupun institusi yang dipimpinnya".

Fahri Bachmid menguraikan bahwa terhadap adanya pengaturan syarat usia minimum ataupun maksimum dalam UU 7 tahun 2020 haruslah ditetapkan menjadi syarat yang tetap dan tidak berubah-ubah setidaknya perlu adanya landasan filosofis ataupun sosiologis yang kuat dan jelas untuk merubahnya. 

Karena, kata dia, jika tidak dinyatakan demikian, maka dapat saja kewenangan pembentuk UU menjadi upaya politik dalam proses bargaining terhadap kepentingan pembentuk undang-undang atas Lembaga tersebut. 

“Apalagi lembaga tersebut adalah badan peradilan ataupun Lembaga penegak hukum yang harus dijamin independensi serta kemerdekaannya dalam melaksanakan tugas dan kewenangan konstitusionalnya,” kata Fahri Bachmid.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya