Kepala BMKG: Krisis Pangan akibat Perubahan Iklim Hantui Seluruh Negara pada 2050

Kepala BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) Dwikorita Karnawati
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

Jakarta – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyatakan bahwa ancaman krisis pangan semakin nyata dan menghantui banyak negara di dunia, seperti diramalkan organisasi pangan dunia-FAO terjadi pada 2050.

Daftar Daerah di Indonesia yang Bakal Diguyur Hujan Hari Ini

Dwikorita, dalam keterangannya disiarkan di Jakarta, Rabu, 2023, mengatakan kondisi ini sebagai akibat kencangnya laju perubahan iklim yang dilaporkan oleh World Meteorological Organization di akhir tahun 2022, berdasarkan data hasil monitoring yang dilakukan oleh Badan Meteorologi di 193 negara di seluruh dunia.

Organisasi pangan dunia FAO, kata Dwikorita, juga meramalkan tahun 2050, dunia akan menghadapi potensi bencana kelaparan akibat perubahan iklim sebagai konsekuensi dari menurunnya hasil panen dan gagal panen.

Drama Iklim Dunia yang Belum Tuntas

Presiden Jokowi bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo saat meninjau lokasi lumbung pangan nasional (food estate) di Kalimantan Tengah. (Foto ilustrasi)

Photo :
  • Biro Pers Media dan Informasi Sekretariat Presiden

Diprediksi oleh FAO, lebih dari 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen dari stok pangan dunia adalah yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Situasi ini, tambah Dwikorita, akan terjadi di berbagai belahan dunia tanpa memandang negara tersebut besar, kecil, maju atau berkembang.

Gibran Minta Menpar Gelar Event hingga Convention di Lokasi Pasca-Bencana Guna Pulihkan Ekonomi Setempat

“Kerentanan pangan ini tidak lepas dari kenaikan suhu global yang akhirnya memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air sehingga menghasilkan water hotspot atau krisis air,” ungkap Dwikorita dalam Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan Iklim untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045 di Jakarta, baru-baru ini.

Ia memaparkan, seluruh negara di dunia saat ini mengalami dampak perubahan iklim dengan tingkat yang berbeda-beda, seperti cuaca ekstrem, bencana alam, penurunan keanekaragaman hayati, penurunan muka air laut, krisis air, dan lain sebagainya. Karenanya, perlu tindakan konkret seluruh lapisan masyarakat di seluruh dunia untuk menekan laju perubahan iklim ini.

Di Indonesia, kata Dwikorita, tren suhu rata-rata tahunan periode 1951-2021 mengalami peningkatan temperatur 0,15 derajat Celsius per 10 tahun, yang menandakan bahwa fenomena peningkatan suhu permukaan bahkan telah terjadi pula secara signifikan dan merata di Indonesia.

Ilustrasi areal persawahan yang mengalami kekeringan.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Dedhez Anggara

Dwikorita memaparkan bahwa pemanasan global memicu pergeseran pola musim dan suhu udara yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi. Salah satunya adalah kejadian kekeringan akibat dipicu oleh El Nino seperti saat ini, bahkan diperparah dengan ulah manusia yang berujung pada kebakaran hutan dan lahan. Akibatnya, dapat memicu makin meningkatnya emisi karbon dan partikulat ke udara.

“Ancaman krisis pangan di pertengahan abad ini perlu menjadi perhatian bersama, maka berbagai langkah pencegahan atau pengurangan risiko krisis tersebut, melalui upaya mitigasi dan adaptasi perlu lebih serius dan konkret digalakkan, agar prediksi krisis tersebut tidak sampai kejadian,” ujarnya. (ant)

Ilustrasi/Cuaca berawan yang menyelimuti sejumlah wilayah di Jakarta

Biar Tak Hujan saat ke TPS, Pemprov Jakarta Siapkan Rekayasa Cuaca di Hari Pilkada

Rekayasa cuaca akan menjadi bagian penting dalam mitigasi risiko cuaca ekstrem yang dapat mengganggu mobilitas masyarakat menuju tempat pemungutan suara (TPS).

img_title
VIVA.co.id
26 November 2024