Jenderal TNI Bintang Dua Batal Bersaksi di Sidang Haris-Fatia, Pengunjung Soraki Jaksa

Haris Azhar menjalani sidang perdana di PN Jakarta Timur
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

Jakarta – Mayjen Heri Wiranto yang menjabat sebagai Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) batal bersaksi di sidang Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanty di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin, 31 Juli 2023.

Bicara di Singapura, Luhut Jabarkan 2 Pilar Strategi Ekonomi Prabowo

Heri sedianya dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk memberikan kesaksian sebagai ahli pertahanan. Namun, Heri absen karena alasan bertugas.

"Izin Yang Mulia, panggilan ahli sudah kami sampaikan. Namun, hari ini ada informasi tidak dapat hadir karena sedang bertugas," ujar Jaksa di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Kode 'Jatah 01' Terbongkar di Sidang Kasus Pungli Rutan, Apa Maksudnya ?

Mendengar pernyataan Jaksa, para pengunjung sidang pun menyoraki. "Huuuu!!!"

"Ahli hari ini kami panggil atas nama Heri Wiranto," sambungnya.

Yakin Laporannya Terkait Nikita Mirzani Naik Penyidikan, Razman Nasution: Kau Tak Kebal Hukum

Hakim Cokorda Gede Arthana lantas bertanya ke Jaksa siapa saja saksi ahli yang akan dihadirkan dalam sidang. Sebab, pekan lalu, Jaksa mengatakan akan ada dua saksi yang rencananya dipanggil.

"Satu saja? Kemarin katanya mau dua?" kaya Hakim Ketua Cokorda.

"Hari ini kami panggil satu Yang Mulia, tidak jadi dua," ucap Jaksa.

"Pecat jaksa!" ucap salah satu pengunjung sidang.

Haris Azhar dan Fatia Didakwa Cemarkan Nama Baik Luhut 

Direktur Lokataru, Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanty didakwa melakukan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. 

"Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik," kata Jaksa di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin, 3 April 2023.

Kata Jaksa, awalnya terdakwa Haris Azhar ingin mengangkat isu tentang kajian cepat dari Koalisi Bersihkan Indonesia mengenai praktek bisnis tambang di Blok Wabu dan situasi kemanusiaan serta pelanggaran HAM termasuk adanya benturan kepentingan sejumlah pejabat publik dalam praktek bisnis di Blok Wabu yang berjudul "Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya".

"Setelah terdakwa Haris Azhar memperoleh hasil kajian cepat, terdakwa melihat nama saksi Luhut Binsar Pandjaitan yang memiliki popularitas, sehingga timbul niat terdakwa mengangkat topik mengenai saksi Luhut Binsar Pandjaitan menjadi isu utama dalam akun YouTube Haris Azhar," ucapnya.

"Dengan tujuan untuk menarik perhatian dan mengelabui masyarakat dengan cara mencemarkan nama baik saksi Luhut Binsar Pandjaitan," sambung Jaksa.

Sementara itu, Jaksa menilai terdakwa Fatia mengetahui niat saksi Haris Azhar yang ingin mencemarkan nama baik saksi Luhut Binsar Pandjaitan. Terdakwa Fatia juga turut menyatukan kehendak dengan saksi Haris Azhar agar dialog dalam konten YouTube berisi pencemaran nama baik terhadap Luhut Binsar Pandjaitan.

Selain itu, Jaksa juga menyebut terdakwa Fatia mengatakan beberapa pernyataan dalam video di YouTube Haris Azhar, salah satunya dengan menyebut Luhut Binsar Pandjaitan sebagai pemilik saham Toba Sejahtera Group, penjahat, hingga dugaan bermain tambang di Papua.

Dalam kasus ini, terdakwa Haris Azhar dan Fatia didakwa Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang ITE, Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, dan Pasal 310 KUHP. Terhadap 4 pasal tersebut di juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.

Sidang korupsi tata niaga timah

Perbedaan Data Kerugian Lingkungan Kasus Korupsi Tata Niaga Timah Sorot Perhatian di Persidangan

Saksi ahli mengungkapkan bahwa kerugian lingkungan dalam kasus ini hanya mencapai Rp 150 triliun, jauh berbeda dari angka Rp 271 triliun yang dilaporkan BPKP.

img_title
VIVA.co.id
16 November 2024