Daerah Otonom Baru Dinilai Bisa Percepat Penyelesaian Pelanggaran HAM di Papua
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Jakarta – Berbagai kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih terus terjadi di Papua. Namun Ketua Badan Musyawarah (Bamus) Papua Willem Frans Ansanay Willem melihat dengan adanya Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua akan memudahkan penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM.
"Saya pribadi mengapresiasi dinamika perubahan politik yang terjadi di Papua dewasa ini, di mana adanya pemberian DOB dan Otonomi Khusus. Jadi, kalau dulu kita sangat sulit mengikuti penyelesaian pelanggaran HAM. Benang kusutnya terlalu rumit. Sekarang dengan DOB, rentang kendali birokrasi diperpendek dan pelayanan publik dimaksimalkan, selain itu akselerasi pembangunan yang gencar oleh pemerintah, membuat masa depan Papua menjadi lebih baik dan banyak harapan baru untuk Papua," ujarnya dalam Podcast Nusantara 2045 yang dipandu Pemerhati Isu Strategis Nasional dan Internasional Prof Dubes Imron Cotan, Kamis 27 Juli 2023.
Senada dengan Willem, Prof Imron juga melihat dengan adanya DOB, pelayanan birokrasi dan pelayanan publik menjadi cepat, efektif, mudah sehingga diharapkan bisa mempercepat berbagai pelanggaran HAM yang terjadi.
Lebih lanjut Willem berharap pemimpin di Papua itu harus selesai dengan hidupnya. Kalau dia selesai dengan hidupnya, tinggal mendedikasikan dirinya untuk pengabdian bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Papua.
"Yang terjadi adalah pemimpin yang ada masih belum selesai dengan dirinya. Masih mencari sesuatu di tengah permasalahan di Papua," ucap Willem.
Ia menganggap masalah pelanggaran HAM di Papua harus merujuk kepada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang perbuatan pelanggaran HAM yang bisa terjadi baik pribadi maupun institusi atau kelompok terhadap hak-hak hidup dari orang lain.
"Untuk konteks pelanggaran Papua yang terjadi baik di masa lampau maupun saat ini memang tidak terlepas dari perbedaan persepsi tentang bagaimana hidup berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," jelas Willem.
Ia menegaskan, persoalan Papua yang dulu bernama Irian Barat ini sudah selesai dan tidak perlu diragukan lagi Papua adalah bagian dari NKRI.
"Jika masih ada kekecewaan sehingga meletus dan melebar kepada keinginan yang tidak sejalan dengan tujuan berbangsa dan bernegara, maka inilah yang kadang-kadang menciptakan terjadinya pelanggaran HAM baik disengaja atau tidak, baik pribadi perorangan atau kelompok," imbuh Willem. Menurutnya, negara atau lembaga dan institusi, masing-masing memegang kedaulatannya. Berbicara tentang negara, tentu kedaulatan negara akan didahulukan.
"Berbicara tentang hak individu, menunjukkan persepsinya terjadap sesuatu yang diinginkan, pasti akan berbeda dan reaksinya pun akan berbeda. Nah itu yang akhirnya membuat terjadi pelanggaran HAM," kata Willem.
Di sisi lain, kata dia, kita harus bersyukur bahwa perjalanan sejarah bangsa kita sampai hari ini bukan hanya Papua, Aceh, dan beberapa tempat. Negara saat ini, sambung Willem, di bawah Presiden Jokowi, ada upaya untuk penanganan secara serius secara baik, bermartabat, sehingga semua pihak tidak merasa ada yang dirugikan, tetapi tidak juga merasa diuntungkan melampaui batas.
Prof Imron sependapat dengan Ketua Bamus Papua bahwasannya Pemerintahan Presiden Jokowi memberikan perhatian khusus dan serius atas berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan wilayah lain di Indonesia. Bahkan, kata dia, pelaku pelanggaran HAM berat di Paniyai tahun 2014, akhirnya dihukum setelah diproses di Pengadilan.
Lebih lanjut Prof Imron menanyakan kepada Willem sebagai putra daerah asli Papua, apakah pendekatan hukum adat juga memungkinkan diberlakukan dalam penanganan kasus pelanggaran HAM di Papua. Willem menjawab, pendekatan hukum formal memang merupakan amanat undang-undang. Namun ia menjelaskan, di beberapa daerah tertentu di Papua ada karakteristik berbeda.
"Di Papua itu kan banyak hal bisa diselesaikan di luar hukum formal, misalkan hukum adat. Tetapi hukum adat itu sendiri bisa dirundingkan, dibicarakan, sehingga tidak terlalu fenomenal untuk merugikan pihak yang lain. Namanya hukum konvensi itu kan kesepakatan, mana yang bisa dibicarakan dengan baik. Tinggal bagaimana pemerintah daerah membangun komunikasi yang baik dengan tokoh masyarakat, tokoh adat atau intelektual setempat," papar Willem.
Dijelaskan Willem Frans Ansanay, pemerintah daerah dalam penyelesaian masalah pelanggaran HAM diharapkan bisa memahami duduk persoalan yang terjadi itu seperti apa.
"Banyak sekali memang pelayanan publik yang belum berjalan secara maksimal, sehingga ada upaya-upaya dari pribadi perorangan mengedepankan kemauannya melampaui batas, memaksakan kehendak. Kalau pelayanan publiknya baik, saya kira hal-hal yang kita khawatirkan soal pelanggaran HAM itu tidak akan mungkin terjadi," imbuhnya.
Pada prinsipnya, lanjut Willem, kata kuncinya ialah pelayanan publik yang terbaik ialah bagaimana mensejahterakan masyarakat.
Willem berpandangan, negara kita sebenarnya sangat manusiawi. Salah satu contohnya, beberapa waktu lalu Presiden Jokowi dalam kunjungan ke Aceh, beliau menyampaikan pemerintah konsen untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu dengam secara berkeadilan. Hal itu juga tentunya akan dilakukan di wilayah lain baik secara yudisial maupun non yudisial.
"Yang dilakukan pertama kali adalah penyelesaian secara non yudisial untuk menjawab tuntutan para korban pelanggaran HAM sekian lama dengan upaya memenuhi kebutuhan mereka, ini kan sesuatu yang luar biasa. Kalaupun ada bukti-bukti yang kuat, maka akan ditempuh secara yudisial seperti yang disampaikan Menkopolhukam Prof. Mahfud MD," tukas Willem.