Pakar Hukum Sebut Penunjukan Pj Bupati Mimika Terdapat Problem Hukum

Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi, Fahri Bachmid
Sumber :
  • Dok. Istimewa

JakartaPakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi dari Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid merespons keputusan Penjabat (Pj) Gubernur Provinsi Papua Tengah, Ribka Haluk yang melantik Valentinus Sudarjanto sebagai Penjabat (Pj) Bupati Mimika menggantikan Johannes Rettob. 

Detik-detik Kantor BKPSDM Mappi Papua Dibakar Massa Gara-gara Tak Terima Hasil CPNS

Fahri menyebut pelantikan Valentinus Sudarjanto oleh Ribka Haluk adalah permasalahan serius yang harus segera dituntaskan lewat pendekatan hukum administrasi dan secara konstitusional. 

Sebab, menurutnya, Johanes Rettob masih merupakan Pj Bupati Mimika yang sah dan masih dapat menjalankan roda pemerintahan di Mimika. Meskipun tersangkut masalah kasus dugaan korupsi tapi Kejaksaan Tinggi Papua memutuskan tidak menahan Johanes Rettob. 

Semua Provinsi di Papua jadi Perhatian Bawaslu Terkait Kerawanan di Pilkada Serentak

“Pada tanggal 01 Maret 2023 Kejaksaan Tinggi Papua mengajukan dakwaan ke Pengadilan Tipikor pada PN Jayapura Kelas I.A, dalam proses ini Johanes Rettob tidak dilakukan penahanan dengan demikian Johanes tetap menjalankan pemerintahannya sebagaimana mestinya,” kata Fahri kepada awak media, Senin, 26 Juni 2023.

Wakil Bupati Mimika Johannes Rettob.

Photo :
  • Antara
Satgas Habema Yonif Para Raider 503 Kostrad Rangkul Anak-anak di Medan Operasi Nduga Papua

Namun, lanjut Fahri, Kejati Papua menempuh upaya hukum kedua dengan mengajukan dakwaan baru dan melayangkan surat kepada Pj Gubernur Papua Tengah Ribka Haluk untuk memberhentikan sementara Johanes Rettob.  

Kejati Papua menuding Johanes Rettob yang masih aktif menjabat sebagai Pj Bupati Mimika telah menggerakkan massa, membuat opini di media sosial, gerilya mencari dukungan politik, pembenaran atas perbuatannya, hingga berupaya menggagalkan proses penuntutan yang sedang berjalan.

Fahri mengatakan, langkah Kejati Papua yang meminta pemberhentian sementara Johanes Rettob merupakan bentuk tindakan non-proseduran atau prosudural's inappropriate action. 

“Saya berpendapat problem mendasar pertama telah muncul dengan akrobat penegakan hukum yang dipertontonkan oleh Kejati yang kemudian berujung pada korespondensi dengan bersurat ke Gubernur untuk dilakukan pemberhentian,“ kata Fahri.

Fahri Bachmid memandang bahwa secara yuridis, berdasar Ketentuan Pasal 124 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2012 tentang Pemilihan, pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, menegaskan bahwa yang berwenang mengusulkan pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada Menteri Dalam negeri adalah Gubernur, bukan melalui instrumen surat Kajati, dengan demikian maka terdapat aspek prosudur yang bermasalah terkait dengan Keputusan Mendagri tersebut. 

Fahri menambahkan, persoalan serius lainnya yakni Johanes Rettob tidak mendapatkan Keputusan mendagri No. 100.2.1.3-1245 Tahun 2023 tentang Pemberhentian Sementara dalam kapasitas sebagai Wakil Kepala Daerah dan atau Plt. Kepala Daerah Kabupaten Mimika. 

Menurutnya, permasalahan tersebut sangat mendasar, karena berkaitan dengan kedudukan subjek hukum yang tentunya mempunyai hak konstitusional untuk menilai apakah produk kebijakan Mendagri tersebut mengandung unsur kesewenang-wenangan atau tidak. 

Dengan adanya salinan putusan Mendagri, Fahri meyebut, Johanes Rettob dapat mengunakan haknya untuk "challenge" ke pengadilan. Pasalnya, hal ini sejalan dengan prinsip hukum administrasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 61 dan Pasal 62 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Ketentuan itu menegaskan bahwa Keputusan segera disampaikan kepada yang bersangkutan atau paling lama 5 hari kerja sejak ditetapkan. 

“Artinya SK Mendagri No. 100.2.1.3-1245 Tahun 2023 yang ditetapkan pada tanggal 29 Mei 2023, maka secara hukum paling lama tanggal 7 Juni 2023 telah disampaikan dan diterima oleh Wakil Bupati Mimika dan Plt Bupati Mimika Johanes Rettob, hal ini menjadi sangat krusial sebab Johanes Rettob menduduki dua pranata jabatan secara bersamaan,” kata Fahri.

Fahri menuturkan, bila membaca secara cermat dan hati-hati, sebagaimana ternyata dalam diktum Keputusan Mendagri No. 100.2.1.3-1245 Tahun 2023 secara eksplisit hanya memberhentikan sementara yang bersangkutan dalam posisinya sebagai Wakil Bupati Mimika sampai Proses hukum yang yang sedang dijalaninya selesai. 

Wakil Bupati Mimika Johannes Rettob dan Dandim 1710/Mimika Letkol Inf Yoga Cahya Prasetya berdialog dengan warga menyusul insiden penembakan oleh oknum aparat TNI pada Senin, 8 Maret 2021.

Photo :
  • ANTARA

Sementara terhadap kedudukan Johanes Rettob sebagai Plt. Bupati Mimika yang ditunjuk berdasarkan Keputusan No. 131.91/5566/SJ tentang Penugasan Wakil Bupati Selaku Pelaksana Tugas Bupati Mimika belum dicabut dan/atau belum dinyatakan tidak berlaku oleh Keputusan Mendagri No. 100.2.1.3-1245 Tahun 2023. 

“Hal ini tentunya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam urusan pemerintahan di Kabupaten Mimika, ‘reasoningnya’ adalah bagaimana dengan perbuatan-perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh Pelaksana Tugas Bupati Mimika selama beberapa waktu yang lalu itu?” Kata Fahri. 

Sehingga, secara doktriner hukum administrasi negara, idealnya produk Keputusan Mendagri harus jelas mengatur soal keadaan hukum yang secara khusus mengatur transisi seperti itu agar kepastian hukum tetap terjaga. Terlebih, satu keputusan yang dibuat, namun tidak menjangkau pranata jabatan Pelaksana Tugas Bupati Mimika,

Fahri berpendapat, bahwa keadaan khusus itu menjadi urgent untuk dilihat, seperti terkonfirmasi terkait Pemberlakuan surut Keputusan Keputusan Mendagri No. 100.2.1.3-1245 Tahun 2023 yang mendasarkan pada Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014. 

Secara teknis hukum tentu mempunyai implikasi hukum yang cukup serius sebab banyak perbuatan hukum yang telah dilakukan terhitung sejak 9 Mei 2023. Dimana tanggal pemberlakuan surut pemberhentian sementara, harusnya Mendagri mendasarkan kebijakan pemberlakuan surut tersebut dengan memperhatikan ketentuan Pasal 58 ayat (6) UU 30/2014. 

“Yang menegaskan bahwa ‘Keputusan tidak dapat berlaku surut kecuali untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan/atau terabaikannya hak Warga Masyarakat,” ujarnya.

Fahri juga mengatakan, bahwa kisruh ini potensial akan di sengketakan di pengadilan, baik melalui Pengadilan Tata Usaha Negara sepanjang terkait dengan aspek prosedur dikeluarkannya SK Mendagri serta proses pelantikan Penjabat Bupati Mimika, maupun soal konstitusionalitas norma Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 ke Mahkamah Konstitusi. 

“Saya memandang memang terdapat problem hukum yang cukup mendasar, baik dari aspek hukum administrasi pemerintahan jika proses itu di uji dengan mengunakan UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan di PTUN, maupun problem konstitusionalitas pemberlakuan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,” kata Fahri. 

“Sepanjang terkait dengan kedudukan terdakwa yang tidak dilakukan penahanan dan tidak dalam status Penangguhan Penahanan tetapi secara efektif memimpin pemerintahan sebagaimana mestinya, sehingga penting agar Mahkamah Konstitusi (MK) dapat membuat tafsir konstitusional yang mempunyai kemanfaatan hukum bagi semua,” imbuhnya. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya