Konsep Ekonomi yang Tepat Diterapkan di Indonesia Menurut Ketua DPD LaNyalla

Ketua DPD RI LaNyalla
Sumber :
  • Dokumentasi DPD RI

Jambi – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai konsep ekonomi Pancasila berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 naskah asli adalah sistem yang paling tepat dalam menciptakan kemakmuran rakyat.

Gibran Minta Menpar Gelar Event hingga Convention di Lokasi Pasca-Bencana Guna Pulihkan Ekonomi Setempat

Hal tersebut ditegaskan LaNyalla dalam sambutannya di acara Focus Group Discussion (FGD) di Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dengan tema 'Benarkah Pasal 33 UUD 1945 Naskah Asli Mampu Mewujudkan Kemakmuran?', Senin 26 Juni 2023.

Ketua DPD RI LaNyalla

Photo :
  • Dokumentasi DPD RI
Pengamat Ingatkan Pemerintah Harus Antisipasi Penyebaran Paham Khilafah saat Pilkada

LaNyalla mengatakan ada tiga kata kunci penting yang perlu digarisbawahi dalam konsep perekonomian yang dirumuskan para pendiri bangsa itu. Pertama, negara berdaulat penuh atas kekayaan yang terdapat di Indonesia. Kedua, ada pemisahan yang tegas antara public goods dan commercial goods serta irisan di antara keduanya. 

Ketiga, rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan penghuni wilayah atau daerah, harus terlibat dalam proses usaha bersama.

Tolak PPN Naik Jadi 12 Persen, YLKI Beberkan Ketidakadilan dalam Pemungutan Pajak

"Ini adalah konsep perekonomian yang luar biasa, karena menggunakan mazhab ekonomi kesejahteraan dengan tolok ukur pemerataan, bukan tolok ukur pertumbuhan," ujar LaNyalla. 

Oleh karena itu, di dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 Naskah Asli, Pasal tersebut dimasukkan di dalam Bab XIV tentang Kesejahteraan Sosial. Sayangnya, sistem tesebut belum pernah dijalankan secara benar. 

Di Era Orde Lama, Indonesia masih disibukkan dengan dinamika politik pasca-Proklamasi, mulai dari agresi militer Belanda, perubahan-perubahan sistem ketatanegaraan, hingga pemberontakan di dalam negeri.

Ketua DPD RI LaNyalla

Photo :
  • Dokumentasi DPD RI

"Lalu apakah sudah kita terapkan di Era Orde Baru? Jawabnya tidak juga. Karena di Era Orde Baru, pemikiran para pendiri bangsa ini hanya bertahan di periode awal kepemimpinan Presiden Soeharto," jelas LaNyalla.

Setelah Presiden Soeharto terpilih kembali, konsep pertumbuhan ekonomi dan teori ekonomi Trickle Down Effect mulai disusupkan menjadi kebijakan Pemerintah Orde Baru.

Dijelaskan LaNyalla, konsep Trickle Down Effect adalah konsep yang memberikan kelonggaran kepada segelintir orang untuk menjadi kaya dan menumpuk modal, yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Untuk menjadi kaya dengan jalan cepat, negara memberikan konsensi sumber daya hutan dan lahan serta sumber daya tambang kepada orang per orang," tutur LaNyalla.

Puncak dari pengkhianatan tersebut adalah pada tahun 1999 hingga 2002 silam, di mana kita mengubah total sistem bernegara dan sistem ekonomi nasional Indonesia melalui amandemen Konstitusi yang mengubah 95 persen isi Pasal-Pasal dari Naskah Aslinya.

"Negara tidak lagi berkuasa penuh atas bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, karena cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak sudah dikuasai swasta. Inilah yang menyebabkan Indonesia terasa semakin gagap menghadapi tantangan dunia masa depan. Karena lemahnya kekuatan ekonomi negara dalam menyiapkan ketahanan di sektor-sektor strategis," tegas LaNyalla.

Oleh karena itu, LaNyalla menilai tidak ada pilihan. Sistem bernegara hari ini yang diakibatkan oleh kecelakaan perubahan konstitusi di Era Reformasi harus kita akhiri dengan cara kembali kepada rumusan asli sistem bernegara dan sistem Ekonomi Pancasila.

"Kita harus berani bangkit, harus berani melakukan koreksi. Sistem Ekonomi Pancasila yang sudah kita tinggalkan mutlak dan wajib kita kembalikan. Tanpa itu, negeri ini hanya akan dikuasai oleh Oligarki yang rakus menumpuk kekayaan," tutur LaNyalla.

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jambi, Dr Sayuti yang hadir sebagai narasumber sependapat dengan pernyataan LaNyalla. Menurutnya, bangsa ini harus kembali kepada konsep Ekonomi Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945 Naskah Asli. 

Hal tersebut untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang merupakan cita-cita bangsa sebagaimana tertuang dalam Alenia ke-IV Pembukaan UUD 1945.

Dalam Naskah Asli itu, Sayuti menyebut ada tiga poin penting dalam pengelolaan ekonomi yakni pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Kedua, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 

Ketiga, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

"Pasal 33 adalah konsekuensi dari tujuan berdirinya negara Indonesia. Hal ini ditunjukkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alenia ke-IV," jelas Sayuti. Selain itu, Sayuti juga menyebut jika Pasal 33 merupakan rumusan yang mengatur secara prinsip mengenai perekonomian negara yang akan diwujudkan.

Persoalan muncul ketika dilakukan amandemen, yang mana di dalamnya juga ikut merubah Pasal 33. Sayuti menyebut ada tiga problematika pelik imbas amandemen tersebut. Pertama, perekonomian tak lagi berdasarkan asas kekeluargaan, karena di dunia bisnis modern ini tidak dapat dihindarkan sistem kepemilikan pribadi sebagai hak asasi manusia yang juga dilindungi oleh UUD.

Kedua, cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak memang harus dikuasai oleh negara. Tetapi pengertiannya tidak untuk dimiliki.

"Ketiga, pengertian 'dikuasai negara' tidak identik dengan 'dimiliki oleh negara' atau tidak dimaksudkan diwujudkan melalui kepemilikan oleh negara," jelas Sayuti. Oleh karenanya, Sayuti sependapat dengan LaNyalla bahwa bangsa ini harus kembali mengacu kepada sistem ekonomi sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa.

"Harus ada perubahan regulasi yang memuat tiga poin. Pertama, aturan untuk mengembalikan kepada prinsip Ekonomi Pancasila. Kedua, revisi aturan yang menjurus kepada ekonomi pasar bebas atau liberal dan ketiga, aturan yang memuat secara proporsional hak dan kewajiban pemerintah pusat, daerah dan swasta," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya