Eksepsi Lukas Enembe Ditolak, Sidang Dilanjutkan ke Pembuktian

Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe jalani sidang dakwaan
Sumber :
  • VIVA/Zendy Pradana

JakartaMajelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menolak eksepsi atau nota keberatan yang diajukan oleh Gubernur Papua nonaktif, Lukas Enembe. Keputusan itu disampaikan majelis dalam persidangan pada Senin 26 Juni 2023.

Connie Bakrie Amankan Dokumen Hasto di Rusia, Jubir PDIP Sebut Ada Puluhan Video Disiapkan Bongkar Borok Petinggi Negara

"Menyatakan nota keberatan atau eksepsi tim penasihat hukum terdakwa Lukas Enembe tidak dapat diterima," ujar Ketua Majelis Hakim, Rianto Adam Pontoh, di ruang sidang.

Lantas, setelah menolak eksepsi atau nota keberatan Lukas Enembe, hakim langsung memutuskan untuk lanjut ke sidang pembuktian.

Habiburokhman: Sampai Kiamat Tidak Selesai Perdebatkan Penetapan Tersangka Hasto, Hormati KPK

"Memerintahkan Penuntut Umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara tindak pidana," kata dia.

Eksepsi Lukas Enembe

Pengakuan Anggota DPR RI Satori soal Kasus Korupsi Dana CSR Bank Indonesia

Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sudah rampung membacakan dakwaan terhadap terdakwa Lukas Enembe. Dalam hal itu, Lukas langsung mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan itu.

Eksepsi yang diajukan oleh Lukas Enembe itu turut dibacakan oleh tim penasihat hukumnya, Petrus Bala Pattyona, di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat pada Senin 19 Juni 2023.

Dalam eksepsinya, Lukas Enembe menyebutkan bahwa KPK adalah pembunuh.

"Seandainya saya mati, pasti yang membunuh saya adalah KPK, dan saya sebagai kepala adat, akan menyebabkan rakyat Papua menjadi marah dan kecewa berat terhadap KPK," ujar Petrus mewakili Lukas di ruang sidang, Senin 19 Juni 2023.

Lukas menganggap bahwa dirinya telah didzolimi, difitnah, dan dimiskinkan oleh KPK. Pasalnya, kata dia, dirinya tak pernah mencuri uang negara meskipun sudah menjadi tersangka kasus korupsi di KPK.

"Saya Lukas Enembe tidak pernah merampok uang negara, tidak pernah menerima suap, tetapi tetap saja KPK menggiring opini publik seolah-olah saya penjahat besar," kata dia.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) secara resmi akhirnya mendakwa Gubernur Papua nonaktif, Lukas Enembe dengan nilai Rp 46,8 miliar terkait dengan suap dan gratifikasi yang menjeratnya. Jaksa menilai bahwa perilaku Lukas sudah menjadi hal yang bertentangan sebagai penyelenggara negara.

"Melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan menerima hadiah atau janji," ujar jaksa penuntut umum (JPU) KPK di ruang sidang di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat pada Senin 19 Juni 2023.

Di perkara suap, Lukas Enembe telah menerima uang sebanyak Rp 45,8 Miliar. Dari puluah miliar itu, dirincikan sebanyak Rp10,4 miliar berasal dari PT Melonesia Mulia, Piton Enumbi. Kemudian, sebesar Rp35,4 miliar diterima dari Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo, Rijatono Lakka.

"Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya," kata jaksa.

Uang tersebut diberikan kepada Lukas Enembe guna memenangkan perusahaan milik Piton dan Rijatono dalam proyek pengadaan barang dan jasa di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Tahun Anggaran 2013-2022.

Kemudian, Lukas melakukan hal tersebut bersama dengan Kepala Dinas Perumahan Umum (PU) Provinsi Papua periode 2013-2017, Mikael Kambuaya. Lalu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Papua periode 2018-2021.

Dakwaan Gratifikasi Lukas Enembe

Lukas Enembe didakwa sebanyak Rp 1 Miliar dalam kasus gratifikasinya. Uang tersebut didapatkan oleh Lukas dari Direktur PT Indo Papua Budy Sultan melalui Imelda Sun yang dikirim melalui nomer rekening Lukas.

"Bahwa terhadap penerimaan gratifikasi berupa uang tersebut, terdakwa tidak melaporkannya kepada KPK dalam tenggang waktu 30 hari sebagaimana ditentukan undang-undang. Padahal penerimaan itu tanpa alas hak yang sah menurut hukum," kata jaksa.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya