Transisi Energi Akan Bermakna Jika Libatkan Masyarakat Sebagai Produsen
- Inhabitat
Jakarta – Direktur Program dan Pengembangan The Habibie Center Julia Novrita angkat bicara mengenai pertemuan masyarakat sipil pada 12 Juni 2023 lalu di Jakarta oleh Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia tentang usaha percepatan transisi energi Indonesia.
“Konsep pemerintah berangkat dari target-target yang ingin dicapai, yang sangat berfokus pada Net Zero Emission (NZE), bukan pada bagaimana demokratisasi ekonomi bisa diaplikasikan,” ujar Julia, Sabtu 24 juni 2023.
Harusnya, kata dia, prinsip demokratisasi ekonomi ini didahulukan, targetnya disusun bersama masyarakat dengan target NZE sebagai referensi karena itu mengacu pada target global.
“Pendekatannya pun dikhawatirkan akan sangat top-down, tidak ada pergeseran relasi kuasa yang salah satunya akan memungkinkan serikat buruh menjadi produsen energi atau masyarakat secara umum menjadi ‘petani’ energi. Keadilan tidak mungkin tercapai tanpa perbaikan sistem, tanpa perubahan pada relasi kuasa” ujar Julia.
Masukan penting lainnya sebagai konsekuensi dari energi yang berpusat pada rakyat dan lingkungan adalah desentralisasi energi dan dukungan bagi pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat.
Dalam konteks JETP, sayangnya tidak ada kepastian dukungan bagi pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat dan bahwa transisi dalam perspektif JETP hanya berfokus pada infrastruktur skala besar dan akhirnya bersifat terpusat.
“Selama perspektif transisi energi Indonesia, termasuk dalam skema JETP, hanya mengakomodir proyek-proyek skala besar, maka prinsip keadilannya akan semakin tersingkirkan. Transisi energi berkeadilan akan lebih bermakna jika menempatkan masyarakat tidak hanya sebagai konsumen namun juga produsen energi,” kata Jeri Asmoro, Pengkampanye dari 350.0rg Indonesia.
Jeri menyebut, hal tersebut bisa tercapai dengan memasukkan sistem desentralisasi energi dalam perencanaannya, melibatkan masyarakat lokal sebagai mitra yang strategis dalam transisi energi, dan menempatkan produksi energi terbarukan lebih dekat ke tempat konsumsi energi.
Kelima area fokus investasi beserta jenis proyek-proyeknya dalam skema JETP mempunyai risiko lingkungan, sosial, dan ekonomi dengan dampak yang luas dan panjang. Dampak negatif di banyak area fokus investasi telah terjadi, mengingat banyak proyek yang relevan dengan area fokus investasi tersebut sebenarnya tengah berlangsung.
Hal tersebut seharusnya menjadi pembelajaran dalam penyusunan rencana. Pendekatan kehati-hatian dan pencegahan menjadi sangat penting untuk digunakan. Beragam masukan terkait intervensi kebijakan dan perbaikan tata kelola telah diberikan oleh masyarakat sipil dalam pertemuan tersebut.
Di tengah urgensi krisis iklim yang semakin intens, intervensi kebijakan dan perbaikan tata kelola yang bersifat transformatif, dengan konsultasi dan partisipasi publik yang bermakna dan lebih luas serta transparan harus menjadi prioritas.
“Kita harus bertransisi dari pola penyediaan energi yang ekstraktif, eksploitatif, dan sentralistik menjadi regeneratif dan demokratis yang berpihak kepada masyarakat dan lingkungan hidup yang adil dan berkelanjutan. Transisi energi juga harus disertai dengan transformasi tata kelola dan kelembagaan dengan aksi yang sejalan dengan Persetujuan Paris untuk mencegah kenaikan temperatur rata-rata global maksimum 1,5°C” Tutup Beyrra Triasdian, Program Manager Trend Asia,” kata dia.
“Sangatlah penting bagi para penyusun skema transisi energi Indonesia seperti Sekretariat JETP untuk mengenali dan memahami realita yang terjadi di lapangan. Transparansi informasi yang radikal, termasuk dokumen perencanaan kebijakan investasi komprehensif, seharusnya sedari awal dapat diakses dengan mudah, cuma-cuma, dan dapat diberikan masukan oleh publik luas dalam kerangka partisipasi publik yang bermakna. Tanpa diawali dengan transparansi yang radikal, kata Just atau Adil dalam JETP, hanya akan menjadi pemanis dari transisi yang tidak akan berkelanjutan,” ucap dia.