Direktur PT Toba Sejahtera Jadi Saksi di Sidang Kasus Pencemaran Nama Luhut
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta – Direktur PT Toba Sejahtera, Hedi Melisa Deborah dihadirkan sebagai saksi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang kasus pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin, 19 Juni 2023. Duduk sebagai terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanty.
"Saudara Hedi Melisa Deborah?" tanya Hakim Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Cokorda Gede Arthana.
"Betul saya sendiri," jawab Hedi.
"Pekerjaan saudara?" tanya Hakim Cokorda.
"Saat ini saya Direktur di PT Toba Sejahtera," jawab Hedi.
Selain Hedi, ada satu saksi lainnya yang juga dihadirkan dalam sidang lanjutan kasus pencemaran nama baik Luhut. Saksi tersebut bernama Dwi Partono selaku Manajer Hubungan ke Pemerintahan PT Madinah Qurata'ain.
"Mohon izin Yang Mulia, Dwi Partono," kata Dwi di depan majelis hakim.
"Pekerjaan saudara?" tanya Hakim Cokorda.
"Saat ini saya bekerja sebagai Manajer Hubungan ke Pemerintahan," jawabnya.Â
Dwi menjelaskan, perusahaan tempatnya bernaung bergerak di bidang pertambangan. Adapun dirinya bekerja di perusahaan itu sejak tahun 2010 sampai hari ini.
Haris Azhar dan Fatia Didakwa Cemarkan Nama Baik LuhutÂ
Direktur Lokataru, Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanty didakwa melakukan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.Â
"Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik," kata Jaksa di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin, 3 April 2023.
Kata Jaksa, awalnya terdakwa Haris Azhar ingin mengangkat isu tentang kajian cepat dari Koalisi Bersihkan Indonesia mengenai praktek bisnis tambang di Blok Wabu dan situasi kemanusiaan serta pelanggaran HAM termasuk adanya benturan kepentingan sejumlah pejabat publik dalam praktek bisnis di Blok Wabu yang berjudul "Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya".
"Setelah terdakwa Haris Azhar memperoleh hasil kajian cepat, terdakwa melihat nama saksi Luhut Binsar Pandjaitan yang memiliki popularitas, sehingga timbul niat terdakwa mengangkat topik mengenai saksi Luhut Binsar Pandjaitan menjadi isu utama dalam akun YouTube Haris Azhar," ucapnya.
"Dengan tujuan untuk menarik perhatian dan mengelabui masyarakat dengan cara mencemarkan nama baik saksi Luhut Binsar Pandjaitan," sambung Jaksa.
Sementara itu, Jaksa menilai terdakwa Fatia mengetahui niat saksi Haris Azhar yang ingin mencemarkan nama baik saksi Luhut Binsar Pandjaitan. Terdakwa Fatia juga turut menyatukan kehendak dengan saksi Haris Azhar agar dialog dalam konten YouTube berisi pencemaran nama baik terhadap Luhut Binsar Pandjaitan.
Selain itu, Jaksa juga menyebut terdakwa Fatia mengatakan beberapa pernyataan dalam video di YouTube Haris Azhar, salah satunya dengan menyebut Luhut Binsar Pandjaitan sebagai pemilik saham Toba Sejahtera Group.
"Terdakwa Fatia Maulidiyanty, 'Nah kita tahu juga bahwa Toba Sejahtera Group ini juga dimiliki sahamnya oleh salah satu pejabat kita'," ucap Jaksa menirukan omongan Fatia.
"Siapa?" kata Jaksa lagi menirukan suara Haris Azhar.
"Namanya adalah Luhut Binsar Pandjaitan," kata Jaksa menirukan ucapan Fatia.
"LBP the Lord. The Lord," kata Jaksa menirukan suara Haris Azhar.
"Lord Luhut. Jadi Luhut bisa dibilang bermain di dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini," ucap Jaksa menirukan omongan Fatia lagi.
Kemudian, kata Jaksa, pada menit 18:00 sampai 21:00, terdakwa Fatia juga menyebut Luhut Binsar Pandjaitan sebagai seorang penjahat. Percakapan antara terdakwa Fatia Maulidiyanty dengan Haris Azhar itu kata Jaksa telah diketahui Luhut Binsar Pandjaitan.
Dalam kasus ini, terdakwa Haris Azhar dan Fatia didakwa Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang ITE, Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, dan Pasal 310 KUHP. Terhadap 4 pasal tersebut di juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.