Bonnie Triyana Kulik 10 Warisan Kolonialisme yang Masih Membelenggu di RI
- istimewa
Jakarta - Perilaku kolonialitas yang melekat di tengah kehidupan masyarakat jadi perhatian sejarawan Bonnie Triyana. Dia menyoroti meski kolonialisme sudah berakhir seiring hengkangnya kekuasaan Belanda di Tanah Air, tapi perilaku tersebut masih membelenggu dalam kehidupan sehari-hari.
Bonnie menyampaikan demikian dalam pidato kebudayaan di Pendopo Museum Multatuli, Banten, Jumat malam. Dia menekankan kolonialitas sebagai konsep untuk menggambarkan dampak sosial, budaya, dan epistemik dari kolonialisme yang masih dikenali hingga hari ini.
"Mengacu pada cara-cara warisan kolonial yang berdampak pada sistem budaya dan sosial serta pengetahuan dan produksinya," kata Bonnie, dalam keterangannya, Sabtu, 17 Juni 2023.
Menurut catatannya, setidaknya ada sepuluh hal dalam kehidupan sehari-hari yang masih terwarisi dampak kolonialisme di berbagai bidang. Dia menyebut misalnya sektor pendidikan.
Dia mengatakan, pemerintah kolonial menyediakan pendidikan tak untuk semua golongan. Namun, kata dia, melainkan hanya kepada kaum bangsawan yang sejak kedatangan kolonialisme ke Indonesia, menjadi rekan sejawat dalam memerintah negeri ini.
"Hanya golongan elit yang mampu mengakses pendidikan bermutu tinggi tersebut hari ini, sebagaimana golongan bangsawan di masa lalu," jelasnya.
Lalu, bidang lain yang masih terwarisi kolonialisme dengan berlangsungnya feodalisme yakni sistem politik Indonesia. Dia mengatakan sejak terbentuknya VOC pada 1602, mulai berlaku sebutan istilah bupati yang punya arti para anggota kelompok elit yang berdinas.
"Mereka dipilih atas hubungan darah, keturunan, dan banyaknya pemberian upeti. Bahkan cara kerja pemilihan ini dibuat oleh petinggi pribumi, sedangkan Gubernur VOC tidak tahu," ujar Bonnie.
Bonnie juga menyoroti sektor kesehatan yang sejak zaman Belanda banyak warga belum terpenuhi kebutuhan dasar gizinya. Menurut dia, kondisi itu mengakibatkan kekurangan gizi dan bertendensi pada stunting yang berefek terhadap tumbuh kembang anak terhambat.
Dia mengatakan demikian halnya dengan diskriminasi rasial yang secara formal sejak 1812 merancang aturan melalui lewat kesepakatan Belanda dan kesultanan. Upaya itu untuk melindungi orang Tionghoa dan melahirkan banyak masalah.
Ia menyebut saat itu, Belanda juga menganggap orang Jawa sebagai orang yang mendalami sejarah. Tapi, kata dia, orang Jawa dianggap Belanda tertinggal dalam segi perkembangan ilmiah.
Lalu, dia menyinggung trauma terhadap paham kiri dan kanan. Dia menekankan kekerasan sering dilazimkan sebagai resolusi saat merespon segala hal yang terjadi di status quo. Tapi, Bonnie tegas menolak mitos buruh pemalas.
"Jadi mitosnya, kalau gaji buruh dinaikan, maka akan semakin malas bekerja," ujar Bonnie.
Selain itu, Bonnie juga mengkritisi praktik stratifikasi sosial karena menyebabkan diskriminasi terhadap kelas bawah. Dia menyinggung hal itu karena jabatan-jabatan tertinggi terus diisi oleh pihak yang kuat dan mempunyai hak istimewa sedari awal.
"Ketika mereka sudah berada di strata atas, maka dengan mudahnya membuat kebijakan yang bisa menyengsarakan kelas bawah. Seperti pungutan liar dalam sekolah, setoran atau pemberian hadiah kepada atasan, dan gratifikasi," sebut Bonnie.
Lebih lanjut, dia juga menyoroti patriarki dalam politik. Bonnie menjelaskan kolonialisme merangkul feodalisme yang melestarikan sistem patriarkis yang cara kerjanya masih berlaku hingga hari ini.
Kemudian, terakhir, Bonnie menyinggung apartheid dalam pembangunan kota. Dia menyebut bukan rahasia lagi jika pengembang perumahan kelas menengah atas mampu menghadirkan berbagai fasilitas umum dan sosial bagi warganya.
"Jauh lebih baik dari warga yang tinggal di perkampungan tanpa kehadiran berbagai fasilitas sebagaimana yang dinikmati oleh mereka yang hidup di dalam komplek perumahan elit," ujarnya.