RUU Kesehatan: Produk Bermasalah dan Minim Partisipasi Rakyat
- BPJS Kesehatan
VIVA – Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam PB HMI mendesak DPR dan pemerintah untuk menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan (Omnibus Law). RUU tersebut dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat, dan belum berorientasi pada perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan publik yang dijamin oleh konstitusi. Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif BAKORNAS LKMI PB HMI, Fahmi Dwika Hafiz Triono dalam diskusi publik yang digelar di Bandung, Selasa (13/06).
Fahmi menyatakan bahwa dalam hal pelayanan kesehatan, peraturan perundang-undangan seharusnya secara eksplisit memberikan kepastian hukum bahwa pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memenuhi pelayanan kesehatan warga negara. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki wewenang untuk melakukan pengaturan dan pengurusan dalam bidang pelayanan kesehatan, dinilai seharusnya lebih bijak dalam mengambil sikap.
"Pelayanan kesehatan adalah pelayanan publik yang lahir sebagai perintah undang-undang. Oleh karena itu, pelayanan publik harus diatur pemenuhannya berdasarkan regulasi yang dibuat oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kesejahteraan masyarakat," katanya.
LKMI PB HMI juga mengkritisi penghilangan mandatory spending dalam RUU Kesehatan Omnibus Law. Hal ini dianggap dapat menurunkan standar kualitas pelayanan kesehatan tanpa adanya tolok ukur yang jelas. Penurunan standar tersebut berpotensi berdampak buruk pada pelaksanaan pelayanan kesehatan di masa mendatang.
Selain itu, pemerintah juga dianggap telah menghilangkan perlindungan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Pihaknya juga menuntut peningkatan mandatory spending untuk mendukung kualitas pelayanan kesehatan. Perlu ada ruang aspirasi publik dan partisipasi masyarakat yang representatif dalam pembahasan RUU Kesehatan ini.
"RUU Kesehatan Omnibus Law adalah produk hukum yang bermasalah dan minim partisipasi bermakna dari pemerintah dan DPR RI. Kami menyerukan penundaan pembahasan RUU tersebut untuk memberikan ruang bagi aspirasi publik dan partisipasi yang lebih luas dalam menentukan kebijakan kesehatan yang berpihak pada kepentingan rakyat," tegasnya.
Di lain kesempatan, menurut perwakilan koalisi yang juga peneliti The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi menyampaikan bahwa RUU Kesehatan belum berpihak pada kepentingan rakyat, serta belum berorientasi pada perlindungan dan pemenuhan hak kesehatan publik yang merupakan amanah konstitusi.
"Pengesahan RUU Kesehatan seharusnya ditunda, dan kalau itu tidak dijalankan, maka langkah selanjutnya adalah justru kita harus menolak adanya RUU Kesehatan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat," kata Sri Palupi.
Menurutnya kebutuhan RUU Kesehatan ini dinilai masih lemah, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Kesehatan tidak cukup untuk menjelaskan urgensi perlunya Omnibus Law. Tidak hanya itu, substansi dalam RUU Kesehatan memuat berbagai kontradiksi. Penyusunan dan pembahasan RUU Kesehatan yang tergesa-gesa hanya membuang sumber daya negara.
"Tata kelola kesehatan yang disentralisasi oleh pemerintah pusat dapat mengurangi independensi di sektor kesehatan. Ironisnya dominasi profesi itu kemudian diambil alih oleh Menkes. Yang terjadi itu bukan menyelesaikan masalah tetapi hanya memindahkan masalah," jelasnya.