Perkuat Ideologi Bangsa, Pemerintah Akan Masukkan Lagi Pancasila di Kurikulum Pendidikan
- Istimewa
VIVA Nasional – Indonesia dianggap telah mengalami lost generation dalam hal Pancasila selama lebih dari 20 tahun, sejak reformasi 1998. Hilangnya pendidikan Pancasila di dalam sekolah dan perguruan tinggi sejak peralihan orde baru ke orde reformasi, menjadi ancaman nyata bagi kohesi sosial di Indonesia saat ini.
Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Amin Abdullah, mengatakan bahwa survei Setara Institute pada 17 Mei 2023, yang menyatakan 83,3 persen siswa SMA berpendapat Pancasila bukan sebagai ideologi permanen dan bisa diganti. Hal ini tidak bisa dipungkiri sebagai akibat sekaligus alarm penting dari absennya pendidikan Pancasila di tanah air.
“20 tahun lebih Indonesia mengalami lost generation dalam kepancasilaan. Peserta didik dari PAUD, SD/MI, sekolah menengah pertama (SMP/MTs), dan sekolah menengah atas (SMA/MA/MAK) tidak diperkenalkan dan tidak mempelajari Pancasila. Mereka ini sekarang menjadi guru Aparatur Sipil Negara,” kata Amin dalam webinar internasional dalam rangka Hari Lahir Pancasila, Selasa malam, 30 Mei 2023.
Dalam webinar yang diikuti lebih 2.600 orang, Amin menambahkan BPIP dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) sepakat untuk mengembalikan pendidikan Pancasila sebagai bahan ajar pokok dalam kurikulum, mulai dari PAUD sampai SMA dan perguruan tinggi.
BPIP dan Kemdikbudristek telah menyusun Pedoman Guru dan Sumber Literasi Pendidikan Pancasila dengan proporsi 70 materi dan 30 pedagogi. Di saat yang sama, pemerintah sedang menyelesaikan buku teks utama Pendidikan Pancasila yang berlaku mulai tahun ajaran baru 2022/2023.
“Ini yang saya katakan better late than never. Buku-buku itu insyaallah akan diluncurkan pada peringatan Hari Lahir Pancasila di Monas, tanggal 1 Juni 2023,” kata Amin.
Sementara itu, Profesor Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis Suseno, mengatakan kebangsaan yang berjiwa Pancasila harus terus-menerus diaktualisasikan. Dia menyebut sejumlah tantangan dalam merawat Pancasila, yakni adanya kecenderungan intoleransi alami, munculnya ideologi-ideologi radikal agamis transnasional, dan penyempitan kembali rasa identitas.
“Dengan latar belakang ini, kita harus bertanya bagaimana pendidikan kita bisa mendukung persatuan Indonesia yang berbhineka tunggal ika atas dasar Pancasila,” ujar cendekiawan Katolik yang kerap disapa Romo Magnis.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk dengan beragam suku, ras, agama, dan kepercayaan. Namun dipersatukan oleh kesepakatan-kesepakatan.
Dalam sebuah teori, biasanya disebut sebagai covenantal pluralism (pluralisme kovenantal), yaitu pluralisme atau kemajemukan yang tidak mencampuradukkan perbedaan tetapi tetap mempertahankan perbedaan-perbedaan di dalamnya.
“Pancasila adalah contoh kesepakatan utama yang amat penting tersebut, dan itulah juga sebabnya banyak pengamat di berbagai negara yang tertarik dengan Pancasila karena dianggap mampu mempersatukan bangsa Indonesia yang amat besar dan majemuk,” kata Matius.
Menurutnya, tantangan Indonesia dengan lebih dari 1.300 suku dan 650 bahasa yang tersebar di berbagai pulau dari Sabang sampai Merauke menjadi pengalaman berharga juga bagi bangsa-bangsa lain di dunia di tengah tantangan polarisasi dan perpecahan.
Senior Fellow University of Washington, Dr. Chris Seiple, mengatakan kompetensi dalam Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) semakin penting dimiliki para guru karena mereka akan benar-benar memahami agamanya dan bagaimana agamanya memiliki sudut pandang positif dalam menjalin hubungan dengan orang yang berbeda. “Kita ingin orang-orang memiliki teologi mendalam yang akan melahirkan cara pandang politik yang moderat,” katanya.
Wakil Presiden Asosiasi Lintas Agama G20, Prof. Katherine Marshall, mengatakan keberagaman adalah hal purba yang selalu ada di dunia ini, bahkan makin besar dari waktu ke waktu. Dia menyebut hubungan antar pribadi menjadi esensi untuk mengubah pandangan atau nilai kita tentang orang lain yang berbeda.