Riset CHED ITB-AD Singgung Regulasi Pelarangan Jual Rokok Batangan

Ilustrasi rokok (picture-alliance/dpa/APA/H. Fohringer).
Sumber :
  • dw

VIVA Nasional – Dalam kurun waktu 30 tahun terkahir, prevalensi perokok di Indonesia dipandang masih cenderung stagnan. Padahal banyak negara yang telah turun prevalensi perokoknya. 

Penjelasan Ditjen Pajak soal Tax Amnesty Jilid III

Pajak tembakau atau biasa disebut CHT (Cukai Hasil Tembakau), sebagai variabel fiskal yang diharapkan dapat mengendalikan harga transaksi pasar dan menurunkan konsumsi rokok masyarakat pun pada kenyataannya tidak berdaya. 

Demikian hasil riset Center of Human and Economic Development (CHED), Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan, Jakarta (ITB-AD). 

Ketahui Aturannya! Kegiatan Usaha Makanan hingga Hiburan Insidental Kini Kena Pajak

Tim Peneliti CHED ITB-AD, Diyah Hesti Kusumawardani, menuturkan pemerintah Indonesia dari tahun 2012 hingga 2024 sebenarnya sudah menaikan pajak cukai tembakau dan harga jual eceran (HJE) tembakau, kecuali pada tahun pemilu yaitu tahun 2014 dan 2019. 

Namun jumlah perokok di Indonesia justru meningkat dari 1990-2019 menjadi 25-50 %. 

Mengenal Pajak Nordik yang Viral di X, Apakah Bisa Diterapkan di Indonesia?

Selain itu, kata Diyah, kenaikan pajak yang diharapkan bisa mengurangi perdagangan gelap, tidak berarti menghilangkan perdagangan gelap itu sendiri. 

Sebab, salah satu kerugian dari kenaikan pajak dan harga tembakau adalah munculnya rokok illegal yang berakibat pada peralihan ke produk rokok illegal dan subtitusi yang lebih murah (HTP yang lebih rendah).

Meskipun pemerintah sudah memutuskan untuk menaikkan cukai rokok dengan kenaikan rata-rata sebesar 10 % berlaku tahun 2023 dan 2024. Namun, kekosongan regulasi ihwal pelarangan penjualan rokok batangan masih sangat diperlukan. 

“Kenaikan cukai dan HTP rokok akan kurang efektif jika masyarakat masih dapat membeli rokok secara batangan, maka pelarangan penjualan rokok batangan akan mengakselerasi efektifitas kebijakan tersebut dalam menurunkan prevalensi rokok di Indonesia,” kata Diyah Hesti dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 14 Maret 2023.

Sementara itu, Rektor ITB-AD, Mukhaer Pakkanna, menyebutkan bahwa hampir 70 %orang miskin di Indonesia dalam komposisi pengeluarannya rokok itu menjadi pengeluaran kedua. Kendati kedua, pengeluaran konsumsi rokok naik signifikan.

“Kaitan dengan cukai, ini bisa jadi kita artikan bahwa penyumbang cukai rokok terbesar itu orang miskin. Selain itu, kalau boleh bisa kita artikan juga bahwa cukai rokok itu dari orang miskin untuk orang kaya,” kata Mukhaer.

Karena itu, Ketua CHED ITB-AD, Roosita Meilani Dewi berharap hasil riset ini menjadi masukan yang baik bagi pemerintah. Terutama dalam membuatkan kebijakan penetapan tarif cukai dan HTP rokok. 

“Serta mekanisme monitoring harga transaksi pasar,” ujarnya. 

Padahal, larangan penjualan rokok secara batangan juga sejalan dengan cita-cita yang diatur dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai, bahwa barang yang menimbulkan kecanduan dan berdampak negatif terhadap penggunanya dan lingkungan, maka distribusinya dibatasi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya