Cerita Berdarah Dusun Kemusuk Bantul, Ratusan Warga Tewas Demi Sembunyikan Letkol Soeharto
- http://www.eviindrawanto.com
VIVA Nasional – Presiden ke 2 Republik Indonesia, Soeharto lahir dan besar di Padukuhan Kemusuk, Kalurahan Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, DIY. Ada sebuah cerita kelam tentang peran para warga dalam membantu Soeharto di perang melawan Belanda.
Lebih kurang 300 orang warga Kemusuk, Bantul merenggang nyawa karena pembantaian Belanda di bulan Januari 1949 lalu. Ratusan warga ini disiksa dan dibantai tentara NICA atau Belanda yang kala itu mencari keberadaan Soeharto.
Ketua Yayasan Kajian Citra Bangsa (YKCB) Mayjen TNI (Purn) Lukman R Boer menuturkan peristiwa pembantaian warga Kemusuk ini terjadi di periode Januari 1949 atau tepatnya pada tanggal 6 dan 8 Januari 1949.
Lukman membeberkan pada 29 Desember 1948, pasukan TNI yang dipimpin oleh Soeharto yang kala itu masih berpangkat Letkol melakukan penyerangan ke tentara Belanda di sekitar Kantor Pos Besar, Secodiningratan, Ngabean, Patuk, Sentul dan Pengok, Kota Yogyakarta.
Serangan pasukan TNI ini menyebabkan banyak korban jiwa dan rusaknya bangunan milik Belanda.
Serangan di 29 Desember 1948 malam ini membuat kaget dan marah tentara Belanda. Tentara Belanda pun kemudian memburu dalang serangan tersebut.
"Waktu itu Belanda kaget. Lho kok ada (serangan). Katanya TNI sudah kalah, Republik sudah bubar bilangnya radio Belanda, tapi kok saya diserang. Siapa ini kepalanya, siapa yang menyerang," cerita Lukman di Museum Soeharto, Selasa 28 Februari 2023.
"Belanda setelah itu mengerahkan intel-intelnya untuk mencari tahu siapa pimpinan TNI yang melakukan serangan di 29 Desember 1948. Kemudian dari informasi intel ini diketahuilah pimpinan serangan adalah putra Kemusuk (Soeharto). Lalu Belanda mencari keberadaan Pak Harto," sambung Lukman.
Lukman mengungkapkan alasan penyerangan yang dilakukan Soeharto  pada tanggal 29 Desember 1948, selain karena saat itu Yogyakarta diduduki oleh Belanda, serangan juga ada alasan lain. Alasan itu, sebut Lukman, karena Soeharto merasa bersalah tidak mampu memenuhi tanggungjawab wilayah yang dibebankan kepadanya.
"Jadi setelah Yogyakarta diduduki Belanda tanggal 19 Desember 1948 itu kemudian Pak Harto bersama pasukan di luar, keliling menyatukan pasukannya. Setelah pasukannya terkumpul mereka melakukan serangan malam yaitu tanggal 29 Desember 1948 malam," ucap Lukman.
"Pak Harto merasa bersalah pada rakyatnya, khususnya di Yogyakarta karena beliau diberi tanggungjawab oleh divisi, tanggungjawab Kota Yogyakarta tapi tidak bisa. Karena itulah melakukan serangan," sambung Lukman.
Usai mengetahui siapa tokoh di balik serangan 29 Desember 1948, tentara Belanda pun memburu Soeharto. Perburuan ini dilakukan hingga ke daerah Kemusuk, Bantul yang merupakan daerah kelahiran Soeharto.
Lukman menuturkan kedatangan pasukan Belanda ke daerah Kemusuk ini datang pada 6 Januari 1949. Tentara Belanda, lanjut Lukman menanyai warga Kemusuk tentang keberadaan Soeharto.
"Nah, mereka lalu cari ke sini (Kemusuk) dan rakyat sini bilang tidak tahu. Semua tidak mau mengaku dan memberitahu keberadaan Pak Harto. Karena tidak mengaku digebukin, ditembak dan dipaksa untuk mengatakan keberadaan Pak Harto tapi rakyat Sedayu tetap tidak mengaku," ungkap Lukman.
"Terus tanggal 8 (Januari 1949) ke sini (Kemusuk) lagi bawa pasukan lebih besar. Kemudian terjadilah peristiwa itu. Rakyat dibunuh, rumah dibakar. Itulah terjadi korban lebih dari 300 orang. Tapi yang terkumpul (data) oleh Pak Probosutejo tahun 1991 ada 202 (korban) yang sekarang dimakamkan di makam Somenggalan," imbuh Lukman.
Pembantaian di Kemusuk ini disebut Lukman membuat amarah Soeharto tersulut. Apalagi saat itu ada beberapa anggota keluarga dan teman Soeharto di Kemusuk yang menjadi korban.
Lukman membeberkan di tanggal 9 Januari 1949, Soeharto dan pasukannya kemudian melakukan pembalasan. Soeharto membawa pasukan untuk kembali menyerang pasukan Belanda di Kota Yogyakarta.
Serangan ini kemudian kembali diulang Soeharto dan pasukannya tanggal 16 Januari 1949 dan 4 Februari 1949. Lukman menceritakan kemudian puncak serangan terjadi pada 1 Maret 1949 yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Serangan Umum 1 Maret.
"Serangan ini membuktikan kepada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih ada dan cukup kuat untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atas kependudukan Belanda," tegas Lukman.