Hinca: UU Cipta Kerja Ditabrak dan Tidak Dipakai Penegak Hukum di Kasus Duta Palma
- VIVA/Muhamad Solihin
VIVA Nasional – Anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR RI Hinca Pandjaitan mengatakan, Pemerintah saat ini dinilai masih ambigu terkait UU Cipta Kerja. Satu sisi menganggap sangat penting agar perekonomian meningkat. Namun di sisi lain, UU tersebut justru diabaikan penegak hukum yang menjadi bagian dari pemerintah sendiri.
“Saya sampaikan hal itu saat membahas RUU Tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang di RPDU, Selasa 14 Februari 2023 lalu,” ujar Hinca, Kamis 23 Februari 2023.
Menurut Hinca, Presiden Joko Widodo menganggap UU Cipta Kerja sangat penting dan mendesak. Sehingga dengan alasan kegentingan yang memaksa, Presiden membuat Perppu Cipta Kerja setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Namun UU Cipta Kerja tetap saja tak dipatuhi aparat penegak hukum. Hal ini terlihat dalam kasus perkebunan sawit milik Duta Palma yang dituntut dengan pidana korupsi oleh Kejaksaan Agung pada 6 Februari 2023 lalu di Pengadilan Tipikor Jakarta.
“Dalam kasus sektor persawitan yang sekarang menghebohkan, UU Cipta Kerja ditabrak atau setidak-tidaknya tak dipakai penegak hukum. Jadi untuk apa kita sekarang capek-cepek lagi membahas Perppu ini menjadi undang-undang. Nanti gak dipakai lagi,” ujarnya.
Atas dasar ini, menurut Hinca, pemerintah terkesan ambigu. Satu sisi dalam jangka pendek ingin menarik investor sebanyak mungkin dengan UU Cipta Kerja. Namun disisi lain UU tersebut justru tidak dipatuhi aparat penegak hukum sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Hinca mengatakan ingin menyuarakan ini agar pemerintah benar-benar serius terkait UU Cipta Kerja tersebut. “Bila perlu pemerintah menegur Kejaksaan Agung agar tidak main-main dengan seriusnya ‘kegentingan’ situasi yang ‘memaksa’ Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Cipta Kerja,” jelasnya.
Apalagi, lanjutnya, bukan hanya Hinca saja yang bicara soal ketidakpatuhan penegak hukum ini. Satu dari 14 narasumber yang dihadirkan dalam RPDU, yaitu mantan Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan Djalil, juga mengatakan bahwa sudah capek-capek bikin UU, tapi tetap tidak dipatuhi aparat penegak hukum.
Dijelaskannya, salah satu yang sedang diabaikan adalah Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja. “Soal apa kasusnya saya tak perlu kasih tahu lah namanya. Kalian tahu sendiri lah apa kasus persawitan besar yang sekarang sedang menghebohkan itu,” ujarnya.
Menurut Hinca, dua pasal itu mengatur penyelesaian terhadap subjek hukum yang terlanjur melakukan kegiatan usaha di areal budidaya tumpang tindih petanya. Lahan itu berdasarkan peta peraturan daerah (Perda) tentang RTRW adalah areal budidaya. Namun menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berada dalam kawasan hutan.
Sekedar diketahui, kasus persawitan yang menghebohkan adalah kasus Duta Palma. Kejaksaan Agung menuntut pidana seumur hidup dan mengganti kerusakan lingkungan sekitar Rp73,9 triliun kepada pemilik Duta Palma, Surya Darmadi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin 6 Februari 2023 lalu.
Menurut pengacara Surya Darma, Juniver Girsang, di PN Tipikor, Rabu 13 Februari 2023 lalu, kasus Duta Palma bukan pidana, tapi administrasi, sesuai ketentuan pasal 110A dan 110 B UU Cipta Kerja.
“Perusahaan klien saya bahkan sudah masuk SK Menteri LHK yang diselesaikan dengan skema UU Cipta Kerja,” ujarnya.
“Namun saat disayangkan, saat sedang melakukan proses penyelesaian administrasi seperti perintah UU Cipta Kerja, penegak hukum justru mempidanakan klien kami. Padahal batas waktu yang ditetapkan UU belum habis. UU Cipta Kerja sendiri memberi tenggat 3 tahun, yaitu November 2023, ,” ujarnya.
Juniver juga menyatakan perkebunan Duta Palma termasuk subjek hukum yang terlanjur melakukan kegiatan usaha di kawasan hutan menurut versi KLHK. Padahal Duta Palma beroperasi legal di Kabupaten Indragiri Hulu sejak 2023 lalu.
Sebab, areal kebun menurut Perda RTRW Riau adalah areal budidaya.
“Jaksa berasumsi Duta Palma melanggar hukum. Beroperasi ilegal dan layak dikenakan pidana TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang-red). Ini perusahaan bayar pajak ke negara hampir Rp1 triliun dan membangun fasilitas untuk masyarakat. Kalau operasi ilegal, negara mesti kena TPPU juga dong,”katanya.
Sementara Surya Darmadi sendiri saat membacakan pledoi pribadi mengatakan ia tidak ditangkap di Taiwan dan dibawa pulang ke Indonesia. Ia sengaja pulang ke Indonesia untuk menyelesaikan masalah hukum yang dituduhkan kepada Duta Palma. Tapi sampai di Indonesia langsung ditangkap.
“Saat lawyer saya (lawyer perusahaan-red) mengajukan praperadilan pakai UU Cipta Kerja, mereka diancam akan dipidanakan dan diminta mencabut praperadilan. Lawyer saya juga disodori surat persetujuan saya mencabut praperadilan. Padahal saya tak pernah membuat persetujuan itu,” ujar Surya.