Pakar Hukum Pertanyakan Legitimasi Audit KPK di Kasus Helikopter AW 101
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA Nasional – Kasus pengadaan helikopter AW 101 mencuat kembali dalam diskusi #Safari24 yang diselenggarakan oleh Total Politik. Pakar hukum Tata Negara Margarito Kamis menyoroti kasus pengadaan helikopter AW 101 yang menurutnya Ada proses hukum yang dipaksakan sejak kasus ini dimulai tahun 2017 yang lalu.
"Saya tergelitik, audit harusnya dilakukan BPKP, bukan internal KPK. KPK tidak punya kewenangan untuk melakukan audit. Kita tidak mau ada pemberantasan korupsi yang prosesnya di luar kewenangan. Begitu hukum bobrok, habis bangsa ini" kata Margarito yang dikutip Senin, 20 Februari 2023.
Sementara itu, dalam diskusi yang sama, KPK melalui juru bicaranya Ali Fikri mengatakan hal tersebut adalah perkara teknis yang bisa dibuktikan di persidangan.
Namun pakar hukum Pahrozi mengatakan, “Putusan MK Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 tidak dapat dijadikan landasan hukum sebagai dasar KPK untuk melakukan audit perhitungan kerugian negara sendiri, karena permohonan Nomor: 31/PUU-X/2012 amarnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. "Sehingga tidak ada norma hukum baru atas putusan yang menolak permohonan tersebut," ujar Pahrozi
Lebih lanjut ia juga menjelaskan konteks permohonan Nomor: 31/PUU-X/2012 kepada MK adalah keberatan Pemohon terkait ketentuan Pasal 6 huruf a dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 30 Tahun 2002) sepanjang frasa Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945; artinya dengan ditolaknya permohonan a-quo tidak ada perubahan apapun terhadap norma yang diajukan pengujian tersebut.
"Maka dengan digunakannya putusan MK Nomor: 31/PUU-X/2012 sebagai dasar untuk melakukan audit perhitungan kerugian negara, menunjukkan bahwa KPK memang tidak berwenang melakukan audit perhitungan kerugian negara sehingga berupaya mencari landasan hukum untuk melegitimasi audit tersebut, termasuk menjadikan Peraturan internal KPK sendiri sebagai dasar hukum," tambah Pahrozi.
Margarito pun sependapat, KPK mengenyampingkan prinsip-prinsip proses hukum yang baik. Sehingga ada kekhawatiran merugikan orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah justru dipersalahkan karena ingin dinilai masyarakat menjalankan kinerja yang baik.
“Terkait nama baik yang tercemar karena proses hukum, suka atau tidak suka, penegakan hukum harus ditakar dengan prinsip-prinsip yang beres dulu. Jadi tidak boleh serampangan," ujar Margarito
Di kesempatan berbeda, pengamat militer dan pertahanan keamanan Connie Rahakundini Bakrie melihat ada unsur pemaksaan kasus oleh panglima Gatot Nurmantyo saat itu yang meminta KSAU Agus Supriatna menghentikan proses pengadaan Helikopter AW 101 karena perintah Presiden.
Padahal saat itu yang berwenang menghentikan proses pengadaan adalah Kemhan. Panglima dan KSAU adalah sama-sama kuasa pengguna anggaran.
"Ketika kepala staf mau mengadakan barang, dia tidak bisa memutuskan tanda tangan sendiri, begitupun Kemhan, dia punya jajaran yang harus approved, artinya sudah melewati banyak hal dan banyak tahapan yang harus dilalui. Ada uang rakyat yang dibelikan alutsista dan sudah diperhitungkan betul oleh TNI AU,Kemenhan bersama Presiden lalu tiba-tiba ada temuan korupsi," kata Connie.
Pertanyaannya, tambah Connie, Panglima Gatot saat itu menemukan kasus korupsinya dimana? Apakah betul melibatkan keputusan politis saat itu atau tidak? "Kalaupun ada korupsi dan kesalahan rekanan/vendor, bukan keputusan strategis angkatan, kenapa uang rakyat yang dikorbankan sehingga helikopter tidak bisa beroperasi?” ujar Connie.