Ahli Manajemen Hutan IPB: Kasus Surya Darmadi Pelanggaran Hutannya Tidak Ada
- Istimewa
VIVA Nasional – Ahli Manajemen Hutan dari Intitut Pertanian Bogor (IPB) Prof Sudarsono Soedomo mengatakan, PT Duta Palma Group milik Surya Darmadi sudah berusaha untuk memenuhi semua ketentuan yang berlaku terkait perizinan perkebunan kelapa wasit di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
“Duta Palma termasuk yang paling segera mengurus penyelesaian arealnya, yang dianggap bermasalah sesuai dengan Pasal 110A UU Cipta Kerja,” kata Sudarsono, Sabtu 18 Februari 2023.
Seandainya terjadi pelanggaran, kata Sudarsono, harusnya di selesaikan secara administrasi. Atau paling berat menggunakan Pasal 110A UU Ciptakerja yang telah dikeluarkan Perpunya oleh Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 lalu.
“Kembalilah kepada konstitusi yang mengamanatkan sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagai tujuan penggunaan sumber daya alam. Jangan apa-apa penjara, apa-apa pidana. Nanti dulu lah. Kalau saya, sudah jelas itu tidak perlu ke arah pidana. Cukup Pasal 110 A. Itu pun bagi saya sudah terlalu berat. Karena sebetulnya, tidak ada pelanggaran,” tegasnya.
Ia menilai, dakwaan jaksa yang menggunakan UU Tipikor sangat berlebihan.
“Penggunaan kata korupsi itu sudah mirip dengan penggunaan kata PKI (Partai Komunis Indonesia) zaman dulu, yakni menstigmatisasi seseorang dengan menggunakan sentimenpublik yang tidak paham realitas sebenarnya seperti apa,” ujarnya.
Sudarsono juga mengingatkan, untuk melihat kasus Duta Palma dengan benar, perlu kejernihan dan keberanian Sebab, akhir-akhir ini kata korupsi itu sendiri digunakan untuk korupsi juga.
Dirinya memaparkan, kasus Duta Palma ini bermula dari penggunaan lahan yang ada pada Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang konon termasuk kawasan hutan.
Padahal, sangat jelas bahwa pembentukan Peta TGHK itu belum melalui proses tata batas yang merupakan syarat pembentukan suatu kawasan hutan.
Peta TGHK itu umumnya dijadikan lampiran surat keputusan penunjukan kawasan hutan.
Sebelum tahun 1999, syarat pembentukan kawasan hutan dapat dilihat pada UU 5 tahun 1967 dan PP 33 tahun 1970. Setelah tahun 1999, syarat tersebut dinyatakan secara eksplisit di Pasal 15 UU 41 tahun 1999 dan PP 44 tahun 2004 yang kemudian dicabut dengan PP 23 tahun 2021.
“Bukti kepemilikan tanah pribadi itu sertifikat. Nah, bukti kawasan hutan itu adalah peta tata batas yang disertai dengan Berita Acara Tata Batas. Kalau tidak mampu menunjukkan bukti tersebut, maka itu klaim bodong. Sejauh tentang penggunaan lahan, kasus Duta Palma ini jauh dari kasus pidana,” papar Sudarsono.
Areal yang diklaim sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan itu mencapai 2/3 daratan Indonesia atau kurang lebih 120 juta hektar. Tetapi sumbangan sektor kehutanan terhadap produk domestik bruto (PDB) selama beberapa tahun terakhir kurang dari 1 persen. Secara ekonomi, kehutanan itu sektor desimal.
“Bagaimana mungkin Duta Palma yang hanya menggunakan areal kurang dari 40 ribu hektar dapat merugikan negara sampai puluhan trilun? Sementara, dengan menguasai 120 juta hektar, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) per tahun kurang dari Rp6 triliun. Selanjutnya, anggaran sektor kehutanan sekitar Rp7 triliun sampai Rp8 triliun per tahun,” kata dia.
Jadi, lanjut Sudarsono, kehutanan itu sebenarnya beban bagi rakyat Indonesia. Saat ini terdapat puluhan juta hektar areal yang diklaim sebagai kawasan hutan dalam keadaan tidak produktif, tetapi tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain yang lebih produktif. Inilah yang sesungguhnya merugikan negara.
Di ketahui juga, Menteri Kehutanan sudah mengeluarkan SK531 Tahun 2021 tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang sudah terbangun dalam Kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan dibidang kehutanan. Di sana disebutkan ada 1.189 perusahaan yang serupa dengan kasus Duta Palma.
Terkait hal tersebut, kata Sudarsono, jaksa harus periksa semuanya kalau memang mau adil. Tetapi jika semuanya tutup karena dipidanankan semuanya, disita semuanya, ekonomi negara bangkrut.
“Kalau Kehutanan dan Kejaksaan mau membangkrutkan negara ya silahkan saja. Tetapi pasti rakyat akan melawan. Tidak bisa seperti itu,” ungkap akademisi yang juga menjadi saksi ahli dalam perkara ini.
Ia juga menduga, bahwa Kejaksaan sebenarnya tidak tahu persis persoalan kawasan hutan. Untuk itu, dirinya menyarankan para penegak hukum untuk memahami betul kawasan hutan seperti apa dan mengikuti peraturan dengan benar. Tidak ada manipulasi, dan tidak perlu interpretasi aneh-aneh.
“Barangnya jelas bangat itu. Dari segi itu, pelanggaran kawasan hutan itu tidak ada. Sehingga menghitung-hitung kerugian segala macam itu ngapain?” pungkasnya.
Sebelumnya, Juniver Girsang dalam pledoinya, Rabu mengatakan, semua perusahaan kliennya yang ada dalam kelompok usaha itu mengurus perizinan, membayar pajak, dan tidak menyerobot hutan.