LSF RI Kembangkan Desa Sensor Mandiri Sebagai Bentuk Literasi Publik
- Dokumentasi VIVA: Dedi
VIVA Nasional – Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia gencar membentuk desa yang sadar akan perkembangan menonton film sesuai dengan kualifikasi umur sejak tahun 2020. Untuk mewujudkan hal tersebut, LSF membentuk Desa Sensor Mandiri (DSM) yang akan terus dikembangkan.Â
Rommy Fibri Hardiyanto selaku ketua LSF RI mengatakan, internet saat ini semakin mudah dijangkau oleh masyarakat Indonesia sehingga LSF harus terjun langsung ke desa-desa untuk memberikan pemahaman soal kualifikasi menonton sesuai usia.Â
"Kita bergerak ke basis yang paling bawah, mulai dari desa-desa, kelurahan baik perbatasan maupun di perkotaan. Dengan akses internet yang semakin mudah, mereka sangat mudah dan gampang untuk mengakses tontonan. Maka dari itu harus diimbangi dengan literasi bagaimana cara menonton dan memilih tontonan," kata Rommy Fibri Hardiyanto saat konferensi pers di Jakarta pada Selasa, 14 Februari 2023.Â
Sampai saat ini, LSF telah mempunyai lima desa binaan, pertama adalah Desa Tigaherang, Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Kemudian ada juga Manguharjo, Kecamatan Madiun, Kota Madiun, Jawa Timur.Â
Desa ketiga yang disasar oleh LSF adalah Desa Candirejo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Lalu, Desa Gekangang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur dan juga Desa Klungkung, Kota Denpasar, Bali.
"Pada tahun ini kita akan bentuk DSM ini di dua daerah, pertama yang akan kita sasar adalah Desa Karanganyar, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah dan juga Candi Rejo di Jogja," kata dia.
LSF mengharapkan dengan dibentuknya Desa Sensor Mandiri ini masyarakat bisa mempunyai kesadaran penuh dalam menentukan klasifikasi tontonan sesuai umur dan juga genre masing-masing umur.Â
Lebih lanjut, Ketua Komisi III LSF RI, Nawardi mengatakan, sampai saat ini ada 15 ribu orang yang bergabung ke dalam Komunitas Sahabat Sensor Mandiri. Komunitas ini sekaligus menjadi wadah dari gerakan DSM tersebut.Â
"Komunitas inilah yang menjadi bagian dari perpanjangan kami untuk menyuarakan bagaimana gerakan menonton sesuai dengan usia sebagai mandat dari UU Nomor 33 Pasal 61 Tahun 2009 tentang Perfilman itu bisa sampai kepada masyarakat," kata dia.
Terbentuknya DSM ini sekaligus membuktikan bahwa LSF saat ini bergerak dengan cara yang lebih modern, bukan hanya menunggu bola tapi sudah bergerak menjemput bola supaya masyarakat memperoleh kapasitas pemahaman yang seragam nantinya.Â
"LSF bukan lagi hanya menyensor, tapi bergerak ke arah yang lebih modern dengan mengkampanyekan budaya sensor mandiri. Ini menjadi kepedulian kita bersama bagaimana agar tsunami tonton dengan akses yang mudah ini diimbangi dengan literasi kepada publik agar mereka bisa memilih dan memilah tontonan sesuai dengan usianya," jelas Rommy.
Â