Tanggapi KPK, Pengacara Irfan Kurnia: Menunjukkan Sesat Pikir

Seorang petugas sedang membersihkan logo Gedung KPK di Jakarta (Foto ilustrasi)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA Nasional - Penasihat hukum Jhon Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh, terdakwa kasus dugaan korupsi Helikopter AW-101, Pahrozi heran bercampur kecewa dengan pernyataan pihak KPK. Dia menyinggung omongan Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri.

Gerindra Dukung Maruarar Sirait Gelar Sayembara Rp8 Miliar untuk Tangkap Harun Masiku

Pahrozi menyoroti pernyataan Ali Fikri yang klaim pihak KPK sudah beri kesempatan yang sama kepada terdakwa dan penasihat hukumnya untuk lakukan pembelaan secara yuridis. Namun, tidak dengan cara serampangan membangun narasi kontraproduktif dengan penegakan hukum itu sendiri.

“Pernyataan tersebut secara jelas menunjukkan sesat pikir. Sebab, jelas-jelas diatur dalam ketentuan hukum bahwa pembelaan secara yuridis terdakwa itu adalah hak terdakwa atau penasihat hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (1) KUHAP,” kata Pahrozi di Jakarta, Rabu, 8 Februari 2023.

MK Putuskan KPK Berwenang Selidiki Kasus Korupsi yang Libatkan Oknum Militer, Ini Kata Mabes TNI

Dia pun menyertakan isi Pasal 182 ayat (1) KUHAP sebagai berikut: a) Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana; dan b) Selanjutnya terdakwa dan/atau penasihat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir.

”Oleh karenanya pembelaan secara yuridis itu bukan diberikan KPK, melainkan jadi hak yang melekat pada diri seorang terdakwa yang diberikan oleh hukum itu sendiri. Hak membela diri itu lahir karena hukum, bukan diberikan KPK seperti yang disebutkan,” jelas Pahrozi.

MK Putuskan KPK Berwenang Usut Korupsi Militer, Nurul Ghufron Bilang Begini

Baca Juga: KPK Bereaksi Dituduh Sekongkol dengan Gatot Nurmantyo Usut Korupsi Heli AW 101

Pengacara terdakwa Irfan Saleh Kurnia

Photo :
  • Istimewa

Pahrozi menyindir dengan pernyataan Ali Fikri, maka terkesan KPK malah serampangan. Dia mengatakan demikian karena pernyataan KPK kontraproduktif dengan hukum yang berlaku. 

Dia mengatakan sebenarnya KPK melalui jaksa penuntut umum atau JPU di persidangan juga punya hak yang sama jika ingin tanggapi secara yuridis terhadap apa yang disampaikan terdakwa atau penasihat hukumnya di nota pembelaan atau pleidoi. "Yakni dengan mengajukan tanggapan atau replik atas pledioi,” tuturnya.

Padahal, kata dia, majelis hakim sudah mempersilakan ke JPU KPK pada Rabu hari ini jika mau mengajukan replik atas pleidoi terdakwa. Dia mengatakan JPU KPK menyatakan tak ingin replik.

“Faktanya JPU KPK menyatakan tak ingin replik dan tetap pada tuntutan sebelumnya. Alangkah eloknya jika KPK juga menanggapi setidaknya terhadap 3 (tiga) hal yuridis yang kami sampaikan pada pleidoi," ujarnya.

Pahrozi pun merincikan tiga hal yuridis yang dimaksudnya. Pertama, kata dia, terkait tuduhan terhadap terdakwa John Irfan mengatur atau mengendalikan Unit Layanan Pengadaan (ULP). Denga tuduhan itu, terdakwa memenangkan tender proyek pengadaan Heli AW-101. 

Terdakwa dalam dugaan korupsi pembelian Helikopter AW 101 Irfan Kurnia Saleh

Photo :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

Dia menyenbt secara yuridis jelas dalam Pasal 1 angka 8 juncto Pasal 15 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dia bilang yang menentukan berwenang memilih atau menentukan pihak penyedia barang dan jasa adalah ULP. 

"ULP ini adalah unit organisasi pemerintah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang. Sebab itu, bagaimana mungkin terdakwa selaku pihak swasta tidak memiliki kewenangan dalam memilih dan menetapkan pihak penyedia barang ‘in casu’ Helikopter AW-101,” tuturnya.

Lalu, yang kedua, dia menyinggung uang negara sebesar Rp139,43 miliar pada rekening bersama penyedia barang dan TNI AU yang saat ini berjumlah sekitar Rp153 miliar, terbukti di persidangan disita KPK. 

Dia menekankan TNI AU yang sudah menyurati KPK. Intinya, menyatakan uang tersebut merupakan ‘uang negara’ berdasarkan Peraturan Panglima TNI Nomor 23 Tahun 2012 dan bukan uang hasil kejahatan. 

"Secara yuridis, penyitaan tersebut jelas melanggar Pasal 50 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap uang atau surat berharga milik negara/daerah, baik yang berada pada instansi pemerintah maupun pihak ketiga," ujarnya.

Kemudian, Pahrozi menyebut yang ketiga terkait ketiadaan kewenangan bagi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) KPK untuk menghitung sendiri kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi terkait kasus Heli AW-101. Dia bilang hal itu secara yuridis justru melanggar Undang-Undang (UU) No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selain itu, melanggar Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 4 Tahun 2016. 

"Termasuk sudah jelas dalam Penjelasan Pasal 32 UU No 31 Tahun 1999 juncto UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya