Ahli Sebut Penentuan Kerugian Negara Tak Boleh Imajiner
- ANTARA
VIVA Nasional – Pakar Hukum Keuangan Negara dari Universitas Indonesia, Dian Puji Nugraha Simatupang memberi keterangan ahli dalam sidang lanjutan dugaan korupsi dan pencucian uang alih fungsi hutan oleh PT. Duta Palma Group/Darmex Group di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Riau, dengan terdakwa Surya Darmadi alias Apeng selaku pemilik dari Duta Palma Group dan mantan Bupati Inhu Raja Thamsir Rahman, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 26 Januari 2023.
Dian mengatakan dalam menentukan kerugian keuangan negara sudah dijelaskan rinci dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 2004. Jumlahnya harus pasti, tidak boleh imajiner.
Merujuk Pasal 1 angka 22 UU 1 Tahun 2004, terang Dian, kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga atau barang yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelaian.
“Arti dari kekurangan yang nyata itu ya betul-betul merupakan milik negara didasarkan nilai buku laporan uang, surat berharga atau barang milik negara, (kemudian) dibuktikan dengan dokumennya. Sedangkan arti pasti, artinya Jumlahnya pasti, harus terukur pasti. Didasari dari nilai buku, bukan asumsi, prediksi atau imajinasi,” kata Dian.
Dian juga menjelaskan, total lost berdasarkan Putusan MK 25 tahun 2016, tidak dikenal lagi sejak ada Pasal 39 PP Nomor 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain. Ditekankannya, dalam Pasal 39 PP itu, penentuan nilai kekurangan dari penyelesaian kerugian negara/daerah dilakukan berdasarkan nilai buku atau nilai wajar atas barang yang sejenis.
“(Jadi) untuk mengetahui maksud nyata dan pasti kita baca di pasal 39 PP Nomor 38 tahun 2016, maknanya adalah nilai buku, dokumen-dokumen atau pada nilai nyata yang wajar. Sehingga tidak didasari persepsi, tapi harus betul-betul nilai yang nyata yang pasti tadi,” ujarnya.
“Pasal 20 ayat 1 menyatakan APIP lah yang menyatakan menilai dan menghitung kerugian negara tersebut. Supaya, Yang Mulia, dapat dikembalikan selama 10 hari kerja,” kata Dian.
Ditambahkannya, berkaitan dengan tindakan-tindakan administrasi, dengan adanya UU Cipta Kerja, terdapat Pasal 314 PP 5 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan kegiatan berusaha berbasis resiko yang menyatakan kalau di dalam sektor-sektor yang menjadi dasar perizinan itu muncul kerugian negara maka APIP harus lebih dahulu menilai dan menghitungnya.
“Bahkan disitu dinyatakan APH, Kejaksaan Agung, Kepolisian, KPK harus mendahulukan proses administrasi,” imbuhnya.
Dian menyebut dalam kegiatan sektor penataan usaha, kehutanan, lingkungan hidup dan sebagainya, ternyata diduga ada kerugian negara atas laporan masyarakat maupajn penyidikan, maka akan menunggu APIP terlebih dahulu.
“Nanti APIP akan melaporkan tiga hal, kesalahan Administrasi apakah ada, kerugian negaramya apakah ada, (lalu), apa yang harus diperbaiki. Nah kemudian diidentifikasi apakah memang harus diselesaikan pengadilan mana atau diselesaikan sendiri oleh administrasi negara tersebut,” kata Dian.
Sementara dalam sidang yang sama, Pakar Hukum Prof. I Gde Pantja Astawa, menegaskan agar UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak dijadikan sebagai UU 'sapu jagat' dalam penegakan hukum di Indonesia.
"Jadi dalam UU Tipikor pasal 14 secara eksplisit dikatakan, bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran-pelanggaran UU pada UU tersebut harus dinyatakan bahwa pelanggaran itu adalah pelanggaran tindak pidana korupsi baru bisa dipidana korupsi. Jika tidak tertuang, jangan jadikan UU Tipikor ini sebagai UU sapu jagat," ujarnya.
Menurutnha, jika sebuah perusahaan dinyatakan melanggar UU Kehutanan atau UU Perkebunan pada pelanggaran tersebut harus tertuang ketentuan yang menyatakan perbuatan pelanggaran itu dapat dipidana dengan pidana korupsi, baru perkara pelanggaran tersebut dapat diadili secara Tipikor. Jika tidak maka pelanggaran tersebut harus diselesaikan sesuai ketentuan di dalam UU tersebut.
"Artinya apakah di dalam UU Kehutanan itu disebutkan bahwa penyimpangan atau pelanggaran dalam UU kehutanan adalah tindak pidana korpusi. Kalau tidak ya UU Tipikor tidak bisa digunakan," kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung itu.
Sementara dalam UU Tipikor Pasal 14 tertulis: 'Secara eksplisit menyatakan ketentuan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas meyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.'
Selain itu, I Gde Pantja mengatakan, terkait konflik masalah kehutanan, perkebunan dan perizinan di Indonesia, Pemerintah telah menciptakan formulasi penyelesaian melalui UU Cipta Kerja.
Dengan tujuan semua badan usaha yang tak kunjung mendapatkan izin usaha meski telah berpuluh-puluh tahun mengusulkan izin tersebut. Sebagai akibat dari konflik tumpang tindih kewenangan dalam pemberian izin berinvestasi, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta lembaga atau kementrian.
Dapat dengan mudah memiliki legalitas perizinan melalui pengusulan ulang perizinan secara administrasi, paling lama 3 tahun setelah UU Cipta Kerja disahkan menjadi UU.
"Atas karut marut masalah perizinan dan dengan fakta yang terjadi sekian puluh tahun, telah terjadi tumpang tindih aturan konflik kewenangan antara daerah dan pusat, yang mengakibatkan terjadinya proses pengurusan izin yang bertele-tele. Maka untuk itu diciptakanlah UU Cipta Kerja ini dalam bentuk Omnibus," ujarnya.
Sebelumnya I Gde Pantja juga menerangkan dalam hal perizinan, ketika seseorang warga negara Indonesia mengajukan permohonan izin kepada lembaga tertentu dengan segala syarat dan ketentuan telah terpenuhi, namun tak kunjung mendapatkan izin yang dimaksud dari lembaga tersebut, maka pejabat yang menjadi pimpinan di lembaga itu dapat digugat secara hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sebaliknya, untuk warga negara Indonesia yang telah mengusulkan perizinan itu dinyatakan tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya di hadapan hukum, apabila terjadi permasalahan hukum bermula dari belum lengkapnya perizinan yang dimiliki.
"Kesimpulannya bukan pemohonnya yang melakukan pelanggaran hukum, tapi pejabatnya yang melakukan pelanggaran hukum dan pejabat ini dapat di PTUN menggunakan pasal 3, karena tidak mengeluarkan putusan yang seharusnya dikeluarkan," terangnya.
Seperti diketahui, dalam perkara dugaan korupsi alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit hingga triliunan rupiah.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada kejaksaan Agung mendakwa bos PT Duta Palma Group/ Darmex Group Surya Darmadi merugikan negara sebesar Rp4.798.706.951.640 (Rp4 triliun) dan US$7.885.857,36 serta perekonomian negara sebesar Rp73.920.690.300.000 (Rp73 triliun).