Tuntutan Bharada E, Fadil: Pelaku Utama Tak Bisa Jadi Justice Collaborator
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA Nasional – Kejaksaan Agung (Kejagung) RI menegaskan, pelaku pembunuhan berencana tidak bisa menjadi justice collaborator (JC) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Hal itu sebagai jawaban atas tanggapan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang merasa Bharada E tidak sepatutnya dituntut 12 tahun penjara atas kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
"Untuk pelaku tidak bisa JC ini pelaku utama. Ini saya luruskan ya, di Undang-undang tidak bisa," kata Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung, Fadil Zumhana kepada wartawan, Jumat, 20 Januari 2023.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Ketut Sumedana juga menegaskan pemberian status JC ini tidak diatur dalam Pasal 28 ayat 2 huruf A Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 2012 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
"Juga tidak termasuk dalam edaran Mahkamah Agung (MA) Nomor 4 Tahun 2014," ungkap Ketut menambahkan.
Dikatakan Ketut, status justice collaborator (JC) dalam surat edaran MA Nomor 4 Tahun 2014 itu hanya bisa diberikan kepada pelaku dalam kasus korupsi, terorisme, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang maupun tindak pidana lain yang bersifat terorganisir.
"Beliau adalah sebagai pelaku utama sehingga tidak dapat dipertimbangkan juga sebagai yang harus mendapatkan JC. Itu juga sudah sesuai dengan Surat Edaran MA Nomor 4 Tahun 2011 dan UU Perlindungan Saksi dan Korban," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Bharada Richard Eliezer alias Bharada E dituntut 12 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus perkara pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Bharada E merupakan penembak pertama kali ke arah Brigadir J saat berada di rumah dinas Ferdy Sambo.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Richard Eliezer selama 12 tahun penjara," ujar jaksa dalam ruang sidang PN Jakarta Selatan, Rabu 18 Januari 2023.
Tuntutan dengan hukuman 12 tahun penjara diberikan jaksa berdasarkan dakwaan premier pasal 340 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hukuman itu lebih ringan dibandingkan dengan hukuman maksimal yang mencapai pidana mati.