Perdagangan Satwa Liar di Sumut Tercatat Puluhan Kasus hingga 2022, Kota Medan Terbanyak
- B.S Putra/ VIVA.
VIVA – Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Center (YOSL-OIC) mencatat sejak 2016 hingga jelang akhir 2022, terdapat 45 kasus perdagangan satwa liar sudah menjalani proses hukum hingga di persidangan.
Hal itu, disampaikan Deputi Direktur Perlindungan Spesies dan Habitat Yayasan Orangutan Sumatera Lestari - Orangutan Information Center (YOSL-OIC), Muhammad Indra Kurnia pada Catatan Akhir Tahun STFJ 2022 di Kota Medan, Kamis, 29 Desember 2022.
Indra menegaskan, YOSL-OIC menyebutkan, bila Kota Medan dan Kabupaten Deliserdang merupakan dua daerah di Sumut dengan tingginya kasus perdagangan satwa. Ini berdasarkan penelusuran sistem informasi penelusuran perkara (SIPP).
"Dari kasus yang banyak ditangani Medan 21 kasus dan Deliserdang 8 kasus. Ini data dari SIPP dan sudah vonis dari 2016 sampai 2022. Total 45 kasus di Sumut diproses hukum," jelasnya.
Posisi selanjutnya, Langkat dengan 4 kasus perdagangan. Disusul Tapanuli Utara rangking ketiga atas 3 kasus. Kemudian, Binjai, Karo dan Labuhanbatu masing-masing 2 kasus. Serta Serdangbedagai dan Pematangsiantar masing-masing 1 kasus.
Turut hadir Kepala Divisi SDA LBH Medan Muhammad Alinafia Matondang, Conservation Director-The Wildlife Whisperer of Sumatra(2WS), Badar Johan dan Direktur STFJ Rahmad Suryadi, Indra mengatakan, perdagangan satwa liar dilindungi menurun pada saat pandemi Covid-19.
"Meski perburuan tetap terjadi, pandemi COVID-19 menyebabkan pengiriman barang diperketat. Jadi, pandemi Covid-19 ada sedikit keuntungan dengan menurunnya perdagangan satwa liar," jelasnya.
Indra mengungkapkan, dalam medio 2016 sampai 2022, tren perdagangan satwa di Aceh dan Sumut berbeda. Di Sumut, Harimau Sumatra peringkat pertama. Diikuti Trenggiling posisi kedua dan Orangutan Sumatera tlat ketiga. Diikuti Burung Rangkong tempat keempat dan burung yang dilindungi posisi 6 besarÂ
Sedangkan di Aceh, gajah peringkat pertama menjadi sasaran perdagangan satwa. Harimau Sumatera kedua, Beruang ketiga dan burung Rangkong tempat keempat. Sedangkan Trenggiling dan Orangutan Sumatera posisi kelima dan keenam.
Sementara Kepala Divisi SDA LBH Medan Muhammad Alinafia Matondang menyebutkan, bila vonis hukuman para pelaku kejahatan satwa ini jauh dari UU Nomor 5 tahun 1990 dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
Seperti kasus perdagangan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dengan terdakwa Thomas Raider Chaniago alias Thomas (18). PN Lubuk Pakam Cabang Labuhan Deli yang mengadili perkara tersebut, menjatuhkan vonis 1 tahun penjara dan denda Rp 10 juta subsider 6 bulan, pada 17 Oktober 2022 lalu.
Kemudian kasus perdagangan Orangutan Sumatera dengan terdakwa Edi AP, yang hanya dihukum 8 bulan penjara dan denda Rp100 juta, subsider dua bulan penjara.
"Ancaman hukumannya UU Nomor 5 tahun 1990 itu lima tahun, kenapa tidak ada yang maksimal. Begitu juga hukuman denda, kenapa hanya Rp100 juta. Ini menjadi pertanyaan," aku Alinafia heran.
"Regulasi UU Nomor 5 tahun 1990 harus direvisi khususnya persoalan hukuman harus lebih dari 5 tahun. Juga tidak bisa lagi denda hanya Rp100 juta. Padahal kerugian satu Orangutan Sumatera itu mencapai Rp1 miliar," tuturnya.