Jubir KUHP: Kemerdekaan Pers Tetap Dijamin Penuh
- ANTARA
VIVA Nasional - Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sudah disahkan menjadi UU tetap jadi sorotan. Salah satunya terkait pasal dalam KUHP baru yang dinilai berpotensi mengancam kemerdekaan pers.
Juru Bicara sosialisasi KUHP Baru, Albert Aries mengklaim dalam proses penyusunan KUHP, sudah melibatkan partisipasi masyarakat dan komunitas pers. Dia menyebut kemerdekaan pers tetap terjamin.
"Tidak benar pengesahan KUHP dilakukan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat dan komunitas pers, karena partisipasi yang bermakna (meaningful participation) sudah diwujudkan dalam proses penyusunan KUHP," kata Albert dalam keterangannya yang dikutip pada Senin, 12 Desember 2022.
Dia menyebut proses pelibatan insan pers itu dengan beri kesempatan kepada perwakilan dewan pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk didengar, dijelaskan dan dipertimbangkan masukannya. "Sehingga kemerdekaan pers tetap dijamin penuh," tutur Albert.
Baca Juga: Dewan Pers sebut KUHP Baru Ancam Kemerdekaan Wartawan
Menurut Albert, Pasal 6 huruf d Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah diadopsi dalam Pasal 218 KUHP dan 240 KUHP. Hal itu kritik merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, sehingga jelas tidak bisa dipidana.
"Mengenai 17 pasal KUHP yang dituding dapat mengkriminalisasi wartawan dan mengancam kebebasan pers, sebenarnya merupakan pasal yang sudah ada sebelumnya dalam KUHP lama (existing). Yang tidak spesifik ditujukan untuk insan pers sebagai bagian dari sarana kontrol publik dalam demokrasi," jelasnya.
Lebih lanjut, Albert menambahkan, sebagian dari pasal-pasal tersebut juga sudah pernah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Lalu, pertimbangan putusan MK tersebut diambil alih oleh tim perumus RKUHP untuk mereformulasi pasal-pasal tersebut.
Kemudian, dia menyinggung pasal 188 KUHP tentang tindak pidana terhadap ideologi negara. Menurut dia, pasal tersebut sudah ada sejak perubahan KUHP melalui UU No. 27 Tahun 1999 tentang perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.
Dia bilang hal itu karena memiliki alasan penghapus pidana khusus yaitu jika dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan misalnya untuk mempelajari, memikirkan, menguji dan menelaah.
Selanjutnya, ia menyebut Pasal 218 KUHP tentang penyerangan harkat dan martabat Presiden. Ia bilang rumusan pasal itu berbeda dengan Pasal 134 KUHP tentang penghinaan Presiden yang sudah dianulir MK.
"Justru perumusan pasal 218 KUHP adalah mengikuti pertimbangan Putusan MK No 13-22/2006 tentang Pengujian Pasal 134 KUHP, yaitu dalam hal penghinaan dilakukan terhadap presiden selaku pejabat dapat menggunakan Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap kekuasaan umum sebagai delik aduan," tuturnya.
Lantas, ia menjelaskan terkait Pasal 240 KUHP tentang penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara deliknya bersifat aduan. Dengan demikian, hal itu hanya bisa diadukan langsung oleh pimpinan lembaga negara yang dibatasi yaitu legislatif DPR, DPD, dan MPR.
Lalu, kata dia, yudikatif yakni MA dan MK. Dengan demikian, menutup ruang bagi simpatisan atau relawan untuk melaporkan penghinaan terhadap lembaga negara.
"Selain itu, jika rekan-rekan pers hendak menghapus pasal 433 KUHP tentang pencemaran nama baik dan Pasal 436 KUHP tentang penghinaan ringan justru yang akan terjadi kekosongan hukum. Dan, kebebasan yang tidak bertanggungjawab," kata Albert.