Saksi Ungkap Kebijakan HET Salah Satu Pemicu Minyak Goreng Langka

Pengadilan Tipikor/Ilustrasi.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Edwin Firdaus

VIVA Nasional – Mantan Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Sutedjo Halim bersaksi dalam sidang kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya di Pengadilan Tipikor, Selasa, 29 November 2022. Sutedjo menuturkan, kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng jadi salah satu penyebab kelangkaan di pasaran. 

Tiga Bos Smelter Kasus Korupsi Timah Divonis 4-8 Tahun Penjara

Awalnya dia mengaku ada distorsi harga antara nilai keekonomian dengan HET minyak goreng. Menurut Sutejo, ada selisih yang cukup tinggi antara harga produksi minyak goreng dengan HET di pasaran.

"Betul bisa jadi karena ada selisih harga yang cukup tinggi antara harga keekonomian dengan harga di market," kata Sutedjo di persidangan. 

Bos RBT Harus Bayar Uang Pengganti Rp 4,5 Triliun di Kasus Korupsi PT Timah

Sutedjo pun membenarkan bahwa HET menjadi salah satu penyebab kelangkaan minyak goreng, bukan karena ekspor yang berlebihan.

"Betul. Ada beberapa daerah yang memang menjadi kekurangan atau kelangkaan minyak goreng adanya serbuan masyarakat karena berpikir minyak goreng makin langka makin sulit," urainya.

Kejagung Masih Pikir-pikir Mau Banding Vonis Harvey Moeis yang Cuma 6,5 Tahun

Stok minyak goreng kemasan di retail modern. (Foto ilustrasi)

Photo :
  • VIVA/Sherly

Lebih lanjut, Sutedjo mengatakan bahwa naiknya harga minyak sawit mentah di dunia serta proses distribusi dan logistik yang bermasalah, jadi penyebab kelangkaan minyak goreng.

Dia juga mengungkapkan situasi global yakni perang antara Ukraina dan Rusia jadi penyebab kenaikan harga CPO yang berdampak pada kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng.
Kuasa Hukum Terdakwa Master Parulian Tumagor, Juniver Girsang mengatakan keterangan saksi menguatkan bahwa kelangkaaan migor lantaran adanya situasi global hingga disparitas harga produksi dan HET.

"Yang kemudian tadi dijelaskan juga bahwa permasalahan lebih lanjut itu adalah penetapan harga eceran tertinggi. Biaya produksi dengan biaya jual itu berbeda jauh," ujarnya. 

Dia juga menggarisbawahi masalah distribusi minyak goreng di pasar. Sebab, kata dia, minyak goreng yang dilempar ke pasar langsung hilang.

"Ketiga itu timbullah masalah pendistribusian. Pendistribusian itu produksi dilempar ke pasar langsung hilang, karena ada perbedaan harga ekonomi yang berbeda, yang tinggi. Ini mengakibatkan menjadi langka," ujarnya.

Patra M Zen, anggota penasihat Hukum Terdakwa Master Parulian Tumanggor mengatakan, dakwaan Penuntut Umum terbukti keliru dan salah alamat.

"Terdakwa bukan orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas kelangkaan dan hilangnya minyak goreng dipasaran," kata Patra. 

Patra menjelaskan, berdasarkan keterangan Saksi, justru pelaku usaha bergotong royong untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dengan jalan menyalurkannya ke distributor. Untuk itu Pemerintah berjanji untuk membayar selisih harga kepada para pelaku usaha, termasuk Wilmar Group. 

“Ironinya, hingga hari ini, para produsen belum mendapatkan pembayaran selisih harga HET dari BPDKS," kata Patra.

Adapun Jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung mendakwa lima terdakwa kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) merugikan negara sejumlah Rp 18.359.698.998.925 (Rp 18,3 triliun). 

Lima terdakwa dimaksud yakni ialah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan RI Indra Sari Wisnu Wardhana dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor. 

Kemudian, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley MA, General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang, Penasihat Kebijakan/Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI), dan Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.

"Yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yaitu merugikan keuangan negara sejumlah Rp 6.047.645.700.000 dan merugikan perekonomian negara sejumlah Rp 12.312.053.298.925," kata jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Agustus lalu.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya