Kajian Kegamaan Didorong Suarakan Krisis Lingkungan dan Iklim

Ilustrasi/Bencana kemarau
Sumber :
  • ANTARA FOTO

VIVA – Yayasan Islami Media Ramah (Islamidotco) menggelar Focus Group Discussion bertajuk Pengarusutamaan Narasi Lingkungan dan Krisis Iklim di Kelompok Kajian Keagamaan di Hotel Amaris Pancoran, Selasa lalu 8 November 2022.

Pra MLB NU Dimulai di Surabaya, Lokasi Acara Dirahasiakan

FGD ini mengundang beberapa kelompok majelis taklim dan pihak-pihak terkait, seperti Kementerian Agama, Dewan Masjid Indonesia, Lembaga Dakwah, hingga pengurus ormas Islam untuk membuat komitmen bersama tentang prosedur pelaksanaan majelis taklim yang ramah lingkungan, termasuk gerakan peduli lingkungan dan pengarusutamaan tema-tema lingkungan dan krisis iklim dalam kajian keislaman.

Founder Islamidotco, Savic Ali dalam sambutannya menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia (mengutip PEW Research) 96 persen sangat teosentris, percaya bahwa semua hal dalam kehidupan itu dipengaruhi oleh Tuhan dan agama. Bahkan saat ini, menurutnya, semangat keagamaan juga cukup menguat. Namun menurut Savic, jika hal tersebut tidak diikuti dengan kesadaran terkait sosial lingkungan juga kurang bagus.

Penikmat Musik Metal-Rock Diajak agar Terus Suarakan Setiap Krisis yang Dihadapi

Savic juga menyebutkan bahwa saat ini dampak perubahan iklim sangat dirasakan. Contohnya, salah satu daerah di Demak terendam banjir rob. Menurutnya, bagi orang yang fatalis akan menganggap bahwa hal itu tidak ada kaitannya dengan manusia. Tapi sebenarnya secara sintific kejadian tersebut sangat dipengaruhi perbuatan manusia, karena meningkatnya suhu global, polusi industri, dan seterusnya.

“Hal ini senada dengan apa yang disebutkan dalam Al-Quran bahwa kerusakan di muka bumi ini karena ulah manusia, dhaharal fasadu fil barri wal bahri bima kasabat aydinnas,” terang Savic.

Tips Ajarkan Anak Peduli pada Lingkungan, Bisa Sambil Kenalkan Keberagaman Habitat Dunia

Ketua PBNU yang juga Founder Islamidotco, Mohamad Syafi Alieha

Photo :
  • Istimewa

Ketua PBNU ini juga menyayangkan bahwa kesadaran ini belum sepenuhnya tumbuh di kalangan kelompok agama di Indonesia. Ia juga menyebut bahwa kesadaran masyarakat Indonesia untuk segera menyelesaikan masalah selalu terlambat.

“Kita juga mengalami masalah, walaupun sudah tau masalahnya tapi kalau belum ‘seleher’ itu orang belum bangkit,” lanjut Savic.

Oleh karena itu, menurut Savic, pertemuan ini ingin mengajak komunitas agama bangkit tanpa harus menunggu masalah sudah ‘seleher’. Sebab, jika sudah terlalu parah, masalah ini akan sulit untuk diselesaikan.

Hening Parlan, Ketua LLHPB (Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana) PP Aisyiyah Hening menyampaikan bahwa komunitas kajian kegamaan ini perlu didorong untuk menyuarakan tema-tema krisis lingkungan dan iklim. Apalagi anggota majelis taklim yang biasa didominasi oleh ibu-ibu memiliki peran yang signifikan di masyarakatnya.

Hening menyebut, selain prosedur pelaksanaan majelis taklim yang ramah lingkungan, kelompok kajian non-formal ini perlu didukung dengan buku saku yang berisi modul atau silabus kajian tentang lingkungan yang mudah diterima. Dalam buku mini tersebut perlu juga diselipkan dalil-dalil keagamaannya.

Kasubdit Bina Paham Kementerian Agama RI, Dedi Slamet Riyadi dalam forum ini juga menyampaikan bahwa selama ini banyak tanah menganggur di daerah yang pemiliknya adalah orang-orang Jakarta. Harusnya, tanah-tanah tersebut bisa dimanfaatkan orang yang ada di daerah tersebut untuk ditanami.

Dedi juga menyebut cara selanjutnya untuk menyelamatkan lingkungan adalah dengan menanam. Dedi mencontohkan ayah mertuanya yang setiap memiliki hajatan selalu menanam satu pohon. Hal ini bisa dicontoh sebagai gerakan dan kegiatan-kegiatan di majelis taklim.

Ust Tsabit Latief, pengurus Majelis Taklim Anwarul Masalik Lebak Banten menyebutkan kelompok majelis taklimnya adalah bagian dari kelompok yang terdampak krisis lingkungan. Selama ini terkait narasi lingkungan, kelompok mejelis taklim lebih fokus pada fardhu ain. Yaitu hanya berkaitan dengan Rukun Islam dan semacamnya. Sedangkan lingkungan, karena hanya dianggap bagian dari Fardhu Kifayah, akhirnya mencukupkan pada satu orang. Kalau satu orang sudah melakukan maka yang lain tidak perlu ikutan. Cara pandang semacam ini, menurut Tsabit, perlu dibenahi.

Tsabit mengutip pendapat pepatah Arab yang pernah dikutip oleh K.H Abdullah Faqih Maskumambang, Man laysa lahul ardh, laysa lahu al-tarikh, man laysa lahu al-tarikh laysa lahu dzakirah (Orang yang tidak punya bumi, maka tidak punya peradaban, orang yang tidak punya peradaban, maka tidak punya kenangan)

Ida Farida, ketua Forum Penyuluh Agama Banten sangat sepakat dengan SOP Hijau yang telah dirumuskan, menurutnya majelis taklim saat ini bukan hanya sekedar menjadi pengimpor pahala saja, melainkan juga perlu menyosialisasikan krisis lingkungan yang saat ini terjadi. Pasalnya, lingkungan adalah parameter kehidupan dan kebahagiaan kita.

Perumusan Prosedur Oprasional Standar Majelis Taklim dan Deklarasi Komitmen Bersama Forum ini juga sekaligus merumuskan Prosedur Operasional Standar (SOP) Majelis Taklim. SOP tersebut meliputi argumentasi keagamaan kepedulian terhadap lingkungan (hifzul bi’ah); prosedur pelaksanaan majelis taklim yang ramah lingkungan, seperti penghematan, menghindari mitra yang abai lingkungan; hingga praktik-praktik gerakan peduli lingkungan, seperti menanam pohon, reduce, reuse, dan recycle.

Seluruh peserta FGD yang terdiri dari beberapa komunitas mejelis taklim dan pihak-pihak terkait setuju dan melakukan deklarasi Komitmen Bersama Majelis Taklim Peduli Lingkungan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya