Pengacara Sebut 7 Wilayah Papua Sepakat Lukas Enembe Jadi Kepala Suku
- VIVA/Aman Hasibuan
VIVA Nasional – Pro dan kontra pasca pengukuhan Gubernur Papua Lukas Enembe menjadi kepala suku besar kini terus mencuat. Kuasa hukum Gubernur Papua Lukas Enembe, Alloysius Renwarin akhirnya angkat bicara dan menyebut bahwa pengukuhan terhadap kliennya itu merupakan keputusan yang disepakati tujuh wilayah adat di Papua.
"Jadi itu sudah ada tujuh wilayah adat Papua kemarin hadir mengukuhkan gubernur sebagai kepala suku besar Papua," ujar Alloysius dalam keterangannya, Rabu 12 Oktober 2022.
Alloysius menjelaskan bahwa beredarnya kabar perihal penolakan dari sejumlah pemimpin suku adat mengenai pengukuhan Lukas Enembe sebenarnya hal itu keputusan yang tidak diambil sepihak. Sebab, kata dia, sudah ada tujuh wilayah adat itu sudah mewakili dan sepakat mengukuhkan.
"Sudah ada kemarin tujuh wilayah adat yang sepakat jadi itu sudah mewakili hadir mengukuhkan kepala suku," katanya.
Alloysius menyebut jika kasus yang menjerat Lukas diminta oleh pihak keluarga dan masyarakat adat untuk menyelesaikannya melalui hukum adat. Hal itu dikarenakan adanya status yang telah menjadi kepala suku besar.
"Ada permintaan dari keluarga dan masyarakat adat. Kalau pak Lukas ditetapkan sebagai kepala suku besar dan mereka sudah mengambil alih persoalan Pak Lukas ke para adat di Papua," ujar Alloysius.
Alloysius menjelaskan lagi, bahwa hukum adat juga bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di Indonesia. Sebab, hukum positif dan hukum adat sama-sama punya peran di Indonesia.
"Hukum adat ini juga tetap berperan untuk menyelesaikan masalah di Indonesia, termasuk di Papua masih kuat hukum adat, di Maluku pun masih kuat hukum adat. Jadi para-para adat akan menyelesaikan ini. Ya dipahamilah kalau sama-sama berperan di Indonesia ini," katanya.
Sebelumnya, Aloysius Renwarin juga telah membeberkan alasan istri dan anak Lukas Enembe, Yulice Wenda dan Astract Bona Timoramo Enembe menolak menghadiri pemeriksaan KPK.
Aloysius menyebut bahwa kekuarga kliennya itu menolak hadir panggilan KPK sebagai saksi dugaan suap dan gratifikasi karena ada hukum adat Papua yang melarang keduanya.
"Jadi harusnya penyidik KPK meperhatikan kearifan lokal di Papua sebelum memanggil Yulice Wenda dan Astract Bona Timoramo Enembe sebagai saksi ke Jakarta," ujar Aloysius dalam keterangannya kepada wartawan di Jayapura, Senin 10 Oktober 2022.
Aloysius menjelaskan, bahwa Kepala Suku Lanny di Papua telah membuat aturan dengan melarang Yulice Wenda dan Astract Bona Timoramo untuk pergi ke Jakarta atau meninggalkan Tanah Papua. Hal itu dikarenakan, Yulice dan Astract diwajibkan menjaga Lukas yang sedang sakit parah.
"Aturan dari kepala Suku, yang melarang karena mereka itu satu kesatuan, dengan Gubernur Papua Lukas Enembe, jadi tidak bisa dipisahkan. Harus menjaga pak Lukas yang sedang sakit," katanya.
Aloysius menambahkan bahwa dengan berdasar adat budaya di Papua, jika terjadi peperangan, maka yang tidak bisa disentuh adalah anak, perempuan (istri) dan juga orang tua dan orang yang sedang sakit.
"Melihat adat di Papua, tentu harus memperhatikan kearifan lokal yang ada, terhadap istri dan anaknya, tidak dapat diganggu. Gubernur Papua sedang sakit, secara budaya harus dihargai. Terhadap Gubernur Papua harus diberikan akses untuk pemulihan kesehatan termasuk dibuka kembali rekening yang diblokir, supaya bisa dipakai untuk pengobatan," tegasnya