Masihkah Kita Butuh Pancasila?
- Ist
VIVA Nasional – Simpati sekaligus miris. Kesan itu yang ada di benak saya ketika mendapati video viral seorang Ketua DPRD Kabupaten Lumajang digojloki mahasiswa gara-gara tidak hafal Pancasila.
Dewan menjadi bahan tertawaan mahasiswa yang mengenakan atribut Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ketika salah melafalkan sila keempat. Ia sempat mengulang bunyi sila keempat, tapi tetap saja salah.
Ketua DPRD Lumajang itu namanya Anang Ahmad Syaifuddin. Dia merupakan politikus PKB dan baru sekali ini duduk di legislatif. Segera setelah peristiwa memalukan itu, Anang menyatakan secara resmi mundur dari jabatan Ketua DPRD Lumajang.
Tak ingin semakin gaduh. Keputusannya untuk mundur sudah bulat. Demi menjaga marwah DPRD Lumajang dan PKB. Juga menjadi pelajaran bagi siapapun yang memimpin negeri ini. Seolah ingin mengutuk dirinya sendiri 'Kok bisa tidak hafal Pancasila?'
Anang keluar gedung parlemen dengan kepala tegak. Tak ingin mengaduh. Dia mundur tanpa desakan. "Gentle!" kata netizen. Seketika cibiran berubah simpati. Anang tadinya dibully sekarang diapresiasi.
Anang tidak munafik, seperti kebanyakan pejabat teriak keras Pancasila tapi sikap dan kebijakannya tidak Pancasilais. Ketika berbuat salah mbulet dengan segala pembelaan -- ujung-ujungnya cuma minta maaf, case closed!
Anang konsisten dan sadar konsekuensi atas apa yang dia lakukan itu fatal bagi seorang anggota dewan. Walaupun, mungkin, Anang sebenarnya hafal Pancasila di luar kepala. Tapi situasi saat itu bisa jadi membuatnya blank, pikiran buyar, tak berkutik.
Memang tidak ada yang mengharuskan hafal Pancasila. Tapi ini beban moral anggota dewan. Bagaimana mungkin anggota dewan yang salah satu kewenangannya membentuk UU tapi dia tak paham dan hafal Pancasila? Tentu keterlaluan.
Lagi-lagi bukan hafalnya, tapi juga penting paham isinya. Pancasila ibarat sebuah formula maka harus larut-melebur dalam bangunan fondasi bernegara.
Karenanya, Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 menyebut Pancasila sebagai "Philosophische Grondslag", yang Ia definisikan sebagai fundamen filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk kemudian didirikan di atasnya gedung Indonesia Merdeka.
Pancasila merupakan lima nilai fundamental bernegara yang merupakan konsep dasar (falsafah) negara, pandangan hidup dan ideologi kenegaraan bangsa Indonesia. Kelima Sila itu mencakup Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai ideologi negara, Pancasila dapat menjadi titik temu bangsa Indonesia -- dalam urusan kenegaraan -- dari beragam komunitas (suku, agama, dan golongan masyarakat). Dengan tetap memberikan ruang kebebasan dalam wilayah privat sesuai ideologi/keyakinan masing-masing.
Begitu krusialnya Pancasila bagi bangsa Indonesia ini, karena merupakan nilai dasar konstitusi yang menjadi sumber hukum tertinggi di Republik ini. Dengan kata lain, semua aturan kebijakan hukum nasional -- perundang-undangan harus sejalan dengan nilai moral Pancasila.
Maka mafhum ketika publik ramai-ramai menghardik pejabat negara -- sekelas anggota dewan -- tidak hafal Pancasila. Jangan kan melaksanakan, paham dan hafal isinya pun tidak.
Kalau anggota dewan yang diberikan kewenangan membentuk aturan perundang-undangan tidak memperdalam pemahaman dan penghayatan pada Pancasila, lantas UU yang dibuat itu merujuk kemana?
Belajar dari Anang. Pancasila butuh pembumian. Tak sebatas ucapan, dihafal di muka kelas tapi tak berbekas. Aktualisasi Pancasila butuh konsistensi. Penghayatan butuh kesabaran di tengah cobaan zaman.
Jangan sampai rapuh tak berdaya, karena bangsa ini masih butuh Pancasila.
Selamat Hari Kesaktian Pancasila. Mari kita bumikan terus nilai-nilai Pancasila. Dengan Pancasila, kita perkokoh persatuan dan kesatuan untuk Indonesia yang lebih baik, sejahtera dan berkeadilan.*
*Penulis: Lalu Mara Satriawangsa, Wakil Sekretaris Dewan Pembina Partai Golkar.