Cerita Kolonel Abdul Latief Pasca-Tragedi G30S PKI
- buku 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualang
VIVA Nasional – Kolonel Abdul Latief adalah salah satu tokoh kunci Gerakan 30 September (G30S) 1965. Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti Jakarta ini bersama Letkol Untung, Sjam Kamaruzaman, Pono, dan Mayor Udara Soejono yang melakukan perencanaan sebelum G30S meletus.
Subuh, 1 oktober 3 jenderal dan 1 perwira dibawa ke Lubang Buaya dalam keadaan hidup, 3 perwira lainnya diduga sudah meninggal. Latief mengaku terkejut saat mendapat laporan dari Lettu Doel Arief bahwa ada jenderal-jenderal yang tewas, karena hal ini tidak sesuai dengan rencana awal.
Setelah gerakan yang ia bentuk gagal di tengah jalan, pada 2 Oktober para pemimpin gerakan menyelamatkan diri. Namun, Latief malah tertangkap pada hari itu juga di rumah sepupu istrinya di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Paha Latief ditusuk dengan bayonet dan lututnya ditembak dari dekat oleh pasukan Kudjang II Siliwangi yang menangkapnya.
“Saya sempat heran, mengapa mereka tahu saya bersembunyi di Bendungan Hilir, kelak saya baru paham mereka tahu persembunyian saya karena menyita surat yang saya kirimkan kepada Presiden,” kata Latief, dikutip dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualang tahun 2010 halaman 120
Setelah itu, Latief mengaku diseret keluar rumah menuju mobil yang terparkir di depan gang. Menurut pengakuannya, dia diseret dengan darah bercucuran dari paha serta lututnya. Akibat rasa sakit, Latief mengaku tidak sadarkan diri selama diperjalanan.
Setelah kejadian itu, Latief mengaku langsung dimasukkan ke dalam sel isolasi di Penjara Salemba. Dalam keadaan hanya bisa berbaring akibat luka infeksi tidak dirawat semestinya, kedua luka tersebut, kata Latief sempat dipenuhi belatung.
“Saya berada dalam ruang isolasi, selama sepuluh tahun kurang lima bulan saya tidak melihat matahari,” ujar Latief.
Meski ditahan di Salemba sejak 1965, vonis pengadilan baru dijatuhkan 17 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1982. Baru, pada 1983 Latief dipindahkan ke Cipinang sampai akhirnya bisa hirup udara bebas berkat amnesti dari Presiden B.J Habibie pada Maret 1999.
Kebijakan Habibie memberikan amnesti menuai kritik dari berbagai lapisan masyarakat. Namun, Habibie didukung oleh Prof Jimly Asshiddiqie, Sekretaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Dia menyebut keputusan Habibie untuk menegakkan HAM dengan pertimbangan usia Latief sudah sangat sepuh berkisar 70 atau 80 tahun.