Sosialisasi Akan Akhiri Penantian Panjang KUHP Karya Bangsa Sendiri

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Sumber :
  • Eko Priliawito| VIVAnews

VIVA Nasional – Penundaan pengesahan RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) hendaknya disikapi bijaksana dan benar-benar dimanfaatkan untuk sosialisasi berkelanjutan kepada masyarakat. 

Potensi perbedaan pendapat atas suatu rumusan delik dalam RKUHP adalah hal yang wajar. Yang dibutuhkan sekarang adalah kesediaan melihat berbagai kepentingan yang ingin dilindungi melalui rumusan RKUHP yang sudah ada di tangan DPR saat ini.

Demikian menurut Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum, Guru Besar Universitas Gadjah Mada, menanggapi keputusan Presiden Joko Widodo agar RUU KUHP tidak buru-buru disahkan. Pekan lalu, Presiden meminta Kemenkumham kembali membahas sejumlah materi yang dipandang masih kontroversial bersama DPR; sekaligus menyosialisasikan RUU tersebut kepada masyarakat.

Aksi Demonstrasi Tolak RKUHP dan UU KPK di gedung DPR/MPR. (Foto ilustrasi)

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Dokumen RKUHP yang kini telah dihasilkan, menurut Marcus, telah melalui proses penyusunan yang sangat panjang –hingga 58 tahun— dengan dinamika yang cukup alot. Pemerintah dan DPR sempat menargetkan RKUHP tersebut sudah bisa disahkan jelang 17 Agustus tahun ini sehingga menjadi kado 77 Tahun Kemerdekaan. Namun kita harus bersabar karena masih perlu proses sosialisasi agar RUU tersebut relatif bisa diterima. 

“Proses sosialisasi atas RKUHP mutlak diperlukan, bahkan setelah disahkan sebagai UU sekalipun, penyuluhan hukum pidana yang baru tetap masih diperlukan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin, 15 Agustus 2022.

Marcus optimistis Bangsa Indonesia akan segera mempunyai KUHP kebanggaan Nasional, menggantikan KUHP lama yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial. Dengan keseriusan Pemerintah dan DPR melakukan sosialisasi, serta dengan kesediaan semua pihak memahami kepentingan besar yang ingin dilindungi melalui RKUHP saat ini, Indonesia akan segera bisa mengesahkannya menjadi KUHP hasil karya dan untuk Bangsa Indonesia sendiri.

“KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Wetboek van Strafrecht voor Nederland Indie peninggalan Pemerintah Hindia Belanda. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Belanda, dan sampai sekarang ini tidak ada terjemahan resmi dalam bahasa Indonesia,” papar Marcus.

Ditinjau dari usianya, KUHP kita juga sudah terlalu tua, banyak hal sudah tidak memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. WvS diterapkan di Indonesia oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1915, disusun oleh pemerintah Belanda pada tahun 1881, dan merupakan konkordansi dari Code Penal Perancis 1791. 

“Sebagai pemerintah kolonial, bukan tidak mungkin hukum yang dibawa dan diterapkan di negara jajahan mengandung misi-misi tertentu, yaitu untuk mengendalikan perlawanan masyarakat di negara jajahan kepada pemerintah kolonial,” ucapnya.

Sosialisasi Dinilai Harus Dimaksimalkan, Karena Dinilai Ketergantungan Warga yang Tinggi

Kemudian, dilihat dari sistem nilai yang melatarbelakangi penyusunannya, WvS dibuat oleh masyarakat dengan latar belakang sistem sosial individualis dan liberalis, sedangkan masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mono-dualis yang religius, yaitu masyarakat yang memberikan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan sosial dan bersifat religius. 

“Jadi banyak hal yang sebenarnya tidak sesuai dengan sistem nilai masyarakat kita,” lanjut Marcus.

Sosialisasi dan Edukasi jadi Kunci Transaksi Lewat Digital Seperti di Jabodetabek

Dokumen RKUHP yang telah dihasilkan saat ini, menurut Marcus, sudah bisa dilihat sebagai hasil maksimal dari proses panjang upaya Bangsa untuk mempunyai KUHP sendiri yang sudah dimulai sejak 1963. Penundaan yang terjadi saat ini merupakan kearifan Presiden memperhatikan suara elemen masyarakat yang keberatan atas beberapa rumusan delik yang bisa dijembatani dengan sosialisasi yang baik. 

“Para perancang dan pembentuk UU telah memikirkan dan mempertimbangan berbagai aspek yang akan terdampak dengan keberlakuan semua tindak pidana tersebut, maupun konsekuensi jika perbuatan termaksud tidak dirumuskan sebagai tindak pidana. Potensi perbedaan pendapat atas suatu rumusan delik dalam RUU KUHP adalah hal yang wajar, tetapi jika kita bersedia melihat berbagai kepentingan yang ingin dilindungi dibalik rumusan delik yang telah digagas oleh para Guru Besar Hukum Pidana maupun ahli lainnya yang terkait sejak tahun 1964 itu mungkin kita baru mengerti maksud dan tujuan dari rumusan delik tersebut,” ujar Profesor Marcus.

Bawaslu Akui Tak Bisa Tindak Bakal Calon Kepala Daerah Bagi Sembako sebelum Kampanye

Baca juga: Guru Besar UI: Sudah Saatnya Indonesia Punya KUHP Buatan Sendiri

Praktisi IT dan Dirut PT TDC Indra

Sosialisasi di Kalangan UMKM Harus Lebih Maksimal

Sosialisasi yang lebih maksimal lagi, harus dilakukan. Terutama di tengah-tengah kalangan UMKM. Dengan begitu, penggunaan transaksi digital seperti QRIS, bisa lebih luas.

img_title
VIVA.co.id
27 November 2024