Gus Samsudin Klaim Ilmunya Tersambung ke Syekh Abdul Qadir Jaelani
- VIVA.co.id/Nur Faishal
VIVA Nasional – Samsudin Jadab, pemilik Padepokan Nur Dzat Sejati di Desa Rejowinangun, Kabupaten Biltar, Jawa Timur, jadi sorotan. Hal ini karena trik pengobatannya yang dipersoalkan Marcel Radhival atau Pesulap Merah hingga ramai di media sosial.
Samsudin juga disorot karena panggilannya yang kesohor disebut Gus Samsudin. Padahal, panggilan ‘Gus’ kental disematkan kepada anak kiai atau kiai muda, biasanya mengasuh pondok pesantren.
Samsudin mengaku pernah belajar ilmu agama ke seorang ulama dan di pondok pesantren. Ilmu pengobatannya yang disertai doa-doa, yakni ruqyah, ia akui juga didapatkan di pesantren.
"Saya, kan, basic-nya dari ponpes, dalam ponpes itu ada amalan-amalan yang memang ada pembelajaran, ada sanad,” kata Samsudin di sela pemeriksaan di Markas Polda Jatim di Surabaya dikutip pada Sabtu, 13 Agustus 2022.
Samsudin mengaku pernah berguru ke Abah Suyuthi Al-Ghazali dari Cepu, Jawa Tengah. “Pernah juga di Pondok Al Jannatul Darul Ma’wa. Paling lama di Abah Suyuti Al-Ghazali,” tuturnya.
Samsudin lantas menyebut salah satu kitab yang dia pelajari selama di pesantren, di antaranya, kitab Syamsul Ma’arif Kubra karya Syekh Al-Buni Al-Maliki yang berisi tentang Ilmu Hikmah dan kitab Al-Aufaq karya Imam Ghazali yang di dalamnya berisi tentang rahasia alam ghaib.
“Di situ ada beberapa kitab yang sambungnya ke Syekh Abdul Qadir Jaelani,” tuturnya.
Dengan bekal itulah Samsudin melakukan praktik pengobatan dengan doa-doa yang dikenal dengan ruqyah. Tidak hanya itu, pria asal Lampung itu juga mengaku memiliki jemaah majelis zikir.
Mungkin atas dasar itu pula Samsudin mengaku tengah membangun pesantren tapi akhirnya terhenti karena masalah yang kini membelitnya gara-gara aksi Pesulap Merah.
"Kalau untuk [kerugian] pribadi nggak masalah. Ini untuk pondok pesantren. Ponpes, kan, sedang dalam tahap pembangunan,” kata Samsudin.
Dia juga mengaku kini memiliki banyak pengikut yang dia sebut dengan santri. Mereka diajari kitab-kitab yang banyak dipakai di pesantren, seperti Sullam al-Taufiq dan Safinah.
“Banyak, ya (santri di Padepokan Nur Dzat Sejati). Karena ada bapak-bapak, ibu-ibu yang menitipkan anaknya. Di padepokan itu, mulai dari tempat tinggalnya, makannya, bahkan untuk bajunya itu gratis. Sama sekali tidak dipungut biaya,” ujar Samsudin.