Pengacara Mardani Maming Sesalkan Status DPO Jelang Vonis Praperadilan

Kuasa hukum Mardani H. Maming, Denny Indrayana, usai sidang gugatan praperadilan
Sumber :
  • ANTARA/Maria Cicilia Galuh

VIVA Nasional – Sidang praperadilan yang diajukan mantan bupati Tanah Bumbu Mardani Maming terkait status tersangka atas perkara pemberian izin usaha pertambangan yang disematkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan masuk tahap akhir, yakni putusan pengadilan.

Ketua Pansel Sebut Pendaftar Capim dan Dewas KPK Bertambah

Hakim tunggal Hendra Utama Sotardodo, dalam sidang beragenda kesimpulan, meminta agar kedua belah pihak, pemohon Mardani Maming dan termohon KPK, untuk membacakan kesimpulan. Namun, kedua belah pihak meminta kepada hakim dianggap kesimpulan telah dibacakan.

Penasihat hukum Mardani Maming, Denny Indrayana, menyesalkan diterbitkannya Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh KPK. Meski demikian, DPO tidak mengugurkan praperadilan, sementara belum ada putusan pada sidang praperadilan tersebut.

SYL: Apakah karena Alasan Politik, Saya Jadi Target Proses Hukum?

"Kami pada Senin (25 Juli 2022) telah bersurat, jika ternyata ada kondisi hukum proses ini berjalan, kami siap datang segera, setelah putusan (praperadilan) itu dibacakan. Itu kan konsekuensi hukum: KPK melakukan langkah itu (DPO), dan dianggap itu benar kami berharap juga hormati pada saat putusan nanti," kata Denny Indrayana dalam keterangannya di Bandung, Rabu, 27 Juli 2022.

"Insyaallah, kami menang, ya, berarti status tersangka, pemblokiran, pencekalan, dan lain-lain juga mesti dinyatakan tidak sah. Marilah kita tunggu sama-sama, kurang 24 jam lagi kok, tidak akan lama lagi," katanya.

SYL Ungkap Alasan Minta Jokowi-JK Jadi Saksi Meringankan di Sidang Korupsi

Status DPO dipertanyakan

Menilik Surat Edaran Mahkamah Agung atau SEMA Nomor 1 Tahun 2018, mengatur secara tegas bahwa pemohon praperadilan yang statusnya tercatat DPO tidak bisa mengajukan praperadilan, apakah itu terkait perkara yang ditangani di instansi aparat hukum lainnya, baik di Kepolisian, Kejaksaan maupun KPK.

Mardani H Maming.

Photo :
  • Istimewa.

"Terkait dengan kasus yang menimpa saudara M Maning, di mana yang bersangkutan sudah mengajukam praperadilan pada 27 Juni 2022. Sedangkan status dia terkait dengan DPO baru ditetapkan sekarang ini," ujarnya.

Dengan demikian, katanya, jika mengacu makna dan pemahaman SEMA tersebut, artinya tidak diperbolehkan itu pemohon yang masuk dalam DPO. "Sedangkan saudara Maming itu pada saat mengajukam upaya praperadilan belum terdaftar masuk DPO, sehingga surat SEMA di atas tidak bisa diterapkan pada saudara MM," katanya.

Masalah pengalihan IUP

Ahli hukum pertambangan Ahmad Rezi, dalam persidangan praperadilan pada Senin, 25 Juli, menyebutkan pengalihan IUP yang dilakukan pejabat tidak bisa dijatuhkan saksi pidana.

Dia menjelaskan tentang pengaturan perizinan sektor mineral dan batu bara dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Batu Bara serta UU Nomor 3 Tahun 2020, bahwa pemberian IUP diatur oleh pejabat yang berwenang, antara lain Bupati, Walikota, Gubernur, Atau Menteri.

"Lalu bagaimana dengan terkait pemberian IUP dan peralihan. Pemberian IUP diatur di Pasal 36, 37, dan seterusnya, di situ diatur bahwa pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah bupati, wali kota, gubernur, atau menteri diberikan kewenangan untuk menerbitkan izin usaha pertambangan. Bupati dalam satu wilayah kabupaten/kota, gubernur untuk lintas kabupaten/kota, sedangkan menteri untuk lintas provinsi," kata Rezi.

Ilustrasi pengadilan.

Photo :
  • Pixabay

Dia menegaskan bahwa pemberian IUP untuk usaha pertambangan, lalu diberikan izin kepada pemohon, dan pemohonnya bisa tiga, bisa bersifat perseroan, dan bisa juga korporasi atau perseorangan.

Karenanya, menurut dia, seorang kepala daerah bisa memberikan izin surat pertambangan apabila ada lahan kosong yang belum ada pemiliknya. Namun dengan catatan harus syarat-syarat administratif yang harus dipenuhi.

"Jadi yang hari ini memang belum pernah ada, pemiliknya izin surat pertambangan kemudian oleh bupati atau wali kota atau gubernur nanti diberikan. Jadi sesuatu yang tadinya lahan kosong yang belum ada pemiliknya sama sekali kemudian diberikan kepada pemohon," katanya.

Berbagai syarat

Setelah pemohon IUP itu menerima semua kelengkapan data, katanya, maka itu syarat untuk dipenuhi agar mendapatkan IUP tersebut, di antaranya syarat administratif, teknis, dan syarat hukum maupun finansial.

"Jadi ada syaratnya mendapat IUP, ada syarat administratif, ada syarat-syarat teknis, syarat hukum dan finansial. Jadi memang sesuatu wilayah yang baru diterbitkan oleh bupati atau wali kota tentang IUP ini surat pertambangan," ujarnya.

Nah, sedangkan peralihan IUP terjadi apabila perusahaan yang sebelumnya diberikan IUP oleh Bupati atau Walikota kemudian dialihkan kepada perusahaan lain di wilayah usaha pertambangan tertentu maka itu peralihan sesuai diatur pada pasal 93 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.

"Jadi itu sesuatu yang sudah ada kemudian diberikan izinnya kepada perusahaan tertentu, kemudian dialihkan ke perusahaan B. Nah ini namanya peralihan dan ini diatur oleh Pasal 93 UU Nomor 4 Tahun 2009 terkait dengan pengganti itu tidak boleh dipindahtangankan. Ini dalam konteks peralihan," ujarnya.

Ahmad melanjutkan, pemberian dan peralihan IUP merupakan dua hal yang berbeda. Pemberian IUP disebutnya dilakukan jika lahan yang dimintakan izin belum pernah diberikan kepada pihak mana pun. Sedangkan untuk peralihan IUP, lahan yang dimintakan izin sebelumnya sudah dikelola.

"Seperti yang sudah saya sampaikan tapi bahwa pemberian IUP dengan peralihan IUP itu berbeda. Jadi lahan itu atau pusat pertambangan itu belum pernah diberikan kepada pihak mana pun oleh pejabat, ini diberikan," tuturnya.

Namun, kata dia, setelah memenuhi persyaratan administratif, finansial, teknis, hukum, sedangkan peralihan IUP itu memang sesuatu yang sudah pernah ada dialihkan kepada PT B.

"Jadi secara hukum diatur di UU 4 Tahun 2009, pemberian dan peralihan adalah suatu peristiwa dan perbuatan hukum yang berbeda sama sekali," ungkap dia.

Pertanggungjawaban administrasi negara

Karena itu, kata Ahmad, jika merujuk pada UU Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 151, tidak ada sanksi atas pelanggaran Pasal 93 ayat 1. Dengan begitu, lanjutnya, bila ada peralihan IUP yang dilakukan oleh para pihak dalam konteks ini menggunakan IUP, tidak dikenai pertanggungjawaban administrasi.

"Kalau dipakai tahun 2011, berarti ikut yang UU Nomor 4 Tahun 2009. Lalu apakah diterima sanksi? Nah Pasal 93 ayat 1, tidak dikenai sanksi. Bicara mengenai sanksi di UU Nomor 4 Tahun 2009 ada Pasal 151, itu memiliki cara mengenai sanksi," kata dia.

"Nah pasal itu tidak memberikan sanksi terhadap pelanggaran (Pasal) 93 ayat 1 UU 4 Tahun 2009 Minerba. Jadi kalau ada pelimpahan IUP yang dilakukan oleh para pihak dalam konteks ini menggunakan IUP, jadi tidak dikenai pertanggungjawaban administrasi," sambung dia.

Dijelaskan Ahmad terkait sanksi pidana disebutkan bahwa tidak ada satu pasal yang mengatur peralihan IUP diberikan pertanggungjawaban administrasi negara atau sanksi pidana. Kata dia, menjadi suatu pertanyaan apakah pertanggungjawaban bisa dikenakan sanksi pidana.

"Pada UU No 4 Tahun 2009 dari Pasal 158-165 yang mengatur tentang sanksi pidana, tidak ada satu pun pasal yang mengatur tentang pengenaan pidana terhadap Pasal 93 ayat 1. Jadi pasal itu, mengatur mengenai peralihan ini, tidak ada pertanggungjawaban administrasi negara dan tidak ada pertanggungjawaban sanksi pidana," ujarnya.

Sidang praperadilan yang diajukan Bendahara Umum NU Mardani Maming itu akan berakhir pada Rabu, 27 Juli 2022, dengan agenda putusan oleh hakim tunggal Hendra Utama Sotardodo.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya