Muhammadiyah Kritik ACT: Kelola Ratusan Miliar, Andalannya Akuntan

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti hadir di Muktamar NU Lampung
Sumber :
  • Muhammadiyah

VIVA Nasional - Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengusulkan perlu ada regulasi yang mengatur tentang pengawasan aktivitas lembaga filantropi seperti Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan lainnya di Indonesia. Sejauh ini, kata dia, lembaga filantropi tak diawasi pengelolaan dana umat oleh lembaga khusus atau peraturan perundang-undangan.

Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD, Ketua Umum Muhammadiyah Bilang Begini

Dalam kesempatan usai menjadi khatib salat Idul Adha di Pulomas, Jakarta Timur, pada Sabtu, 9 Juli 2022, Mu’ti mengingatkan bahwa jika dikaitkan dengan dunia perbankan, lembaga yang berurusan mengelola keuangan hingga bisnis itu pengawasannya berlapis-lapis. Misalnya, ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang tidak hanya mengawasi governance dari dunia perbankan.

“Tapi juga berbagai hal yang secara governance dianggap patut atau tidak patut dalam penyelenggaraan. Misalnya, terkait berapa gaji komisaris, berapa gaji direksi. Itu OJK mengawasi. Kalau itu tidak sesuai dengan, misal, kemampuan dari bank, mereka punya otoritas yang memang bisa memberikan teguran, peringatan, bahkan berbagai sanksi yang lebih tinggi,” ujarnya.

Muhammadiyah Luncurkan Produk AC yang Bikin Sejuk 'Dunia dan Akhirat', Berapa Harganya?

ACT (Aksi Cepat Tanggap).

Photo :
  • VIVA/Yeni Lestari

Selama ini, Mu’ti menilai, yang menjadi pintu untuk mengawasi lembaga filantropi seperti ACT pelaporan dana dan pemeriksaan oleh lembaga akuntan publik. Menurut dia, ini sifatnya hanya administratif. Tapi hal yang sifatnya etik dan legal di luar yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari akuntan.

Sekjen Pemuda Muhammadiyah Desak PDIP Pecat Hasto Kristiyanto Terkait Kasus Harun Masiku

“Bisa saja mereka mengatakan secara keuangan WTP (wajar tanpa pengecualian). Tapi secara etik, menurut saya, itu tidak wajar. Bagaimana sebuah lembaga filantropi menggaji direktur utama sampai Rp250 juta per bulan dengan segala fasilitas yang mewah,” katanya.

Lembaga khusus pengawasan

Mu’ti mengatakan perlu adanya lembaga khusus untuk mengawasi filantropi, atau bisa juga lembaga yang melekat kepada birokrasi yang sudah ada seperti di Kementerian. Contohnya, kata dia, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) ada pengawas khusus yang dipilih oleh DPR.

“Karena apa? Uang triliunan kalau tidak ada yang mengawasi, yang namanya uang, itu tetap saja uang, dan orang senang dengan uang itu,” katanya.

Mu’ti menyebut persaingan usaha juga ada pengawasnya lembaga independen, yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Menurut dia, KPPU ini bisa memberikan vonis kalau ada pelanggaran persaingan usaha.

Sedangkan lembaga filantropi, dia kembali menekankan, belum ada pengawasnya. Memang akan lebih bagus kalau lembaga yang mengawasinya itu adalah lembaga independen, yang bertanggung jawab dengan mandat undang-undang atau mandat hukum yang kuat sehingga mereka punya kekuatan.

“Ini lembaga filantropi yang mengelola dana ratusan miliar, enggak ada pengawasnya, andalannya hanya akuntan, itu memang rentan untuk melakukan penyimpangan. Inilah perlu bagian dari catatan,” katanya.

Dia berharap setelah ini persoalannya tidak berhenti dengan lembaga itu dibekukan. Yang lebih penting daripada itu, katanya, integritas mereka yang menjadi pengelola lembaga filantropi harus diperkuat dan pengawasan oleh lembaga khusus.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya