Mengenal Badal Haji, Landasan Hukum dan Syarat Badal
- MCH / Zaky Al Yamani
VIVA – Badal haji merupakan kegiatan menghajikan orang yang telah meninggal (yang belum haji) atau menghajikan orang yang sudah tak mampu melaksanakannya (secara fisik) disebabkan oleh suatu udzur, seperti sakit yang tak ada harapan sembuh.
Mengutip laman, Kementerian Agama Jawa Timur, Badal haji adalah pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain yang sudah meninggal (sejak di embarkasi dan sebelum pelaksanaan wukuf). Juga bagi jemaah haji yang uzur jasmani dan rohani (tidak dapat diharapkan kesembuhannya menurut medis) sehingga tidak dapat melaksanakan wukuf di Arafah.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari al-Fadl: “Seorang perempuan dari kabilah Khats’am bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji, tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?”. Jawab Rasulullah: “Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!” (HR. Bukhari, Muslim, dan lain-lain).
Dalam hadist lainnya seperti yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, “Seorang perempuan dari Bani Juhainah datang kepada Nabi SAW, dia bertanya: “Wahai Nabi SAW. Ibuku pernah bernazar ingin melaksanakan ibadah haji hingga beliau meninggal, padahal dia belum melaksanakan ibadah haji tersebut, apakah aku bisa menghajikannya?
Rasulullah menjawab: Ya, hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
Syarat membadalkan haji
Menukil laman YouTube Al Bahjah TV Senin, 27 Juni 2022, Buya Yahya menjelaskan syarat seseorang yang ingin mem-badalkan haji untuk orang lain adalah orang tersebut harus terlebih dahulu berhaji untuk dirinya sebagaimana mazhab Syafi’i, menurut Buya Yahya, jika seseorang belum melaksanakan haji dan dia mem-badalkan haji untuk orang lain maka hukumnya tidak sah.
Sejalan dengan hadist yang disampaikan Ibnu Abbas mengatakan:
Pada saat melaksanakan haji, Rasulullah SAW. mendengar seorang lelaki berkata: “Labbaika ‘an Syubrumah” (aku memenuhi panggilanmu ya Allah, untuk Syubrumah). Lalu Rasulullah bertanya: “Siapa Syubrumah?”. “Dia saudaraku wahai Rasulullah”, jawab lelaki itu. “Apakah kamu sudah pernah haji?” Rasulullah bertanya”. “Belum” jawabnya. “Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubrumah”, lanjut Rasulullah. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Pelaksanaan Badal Haji
Kembali menukil laman Kementerian Agama Jawa Timur, pelaksanaan badal haji diperbolehkan kepada dua kelompok, yaitu: al-ma’dlub dan al-mayyit
Al-ma’dlub, yaitu orang yang kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk berangkat ke Tanah Suci, sehingga memerlukan jasa orang lain untuk melaksanakan ibadah haji. AlMa’dlub yang memiliki kemampuan finansial wajib/boleh dibadalkan jika tempat tinggalnya jauh dari Tanah Haram Mekah dengan jarak lebih dari masafatul qashr.
Sedangkan alma’dlub yang sudah ada di Tanah Haram Mekah atau tempat lain yang dekat dari Tanah Haram Mekah tidak boleh dibadalhajikan, melainkan harus haji sendiri atau dibadalhajikan setelah meninggal. Tetapi jika kondisinya benar-benar tidak memungkinkan untuk melaksanakan sendiri, maka menurut sebagian pendapat, dia boleh dibadalhajikan disaat dia masih hidup (Hasyiatul Jamal, Juz II, hlm. 388)
Kemudian, al-mayyit adalah haji yang tidak terlaksana atau tidak selesai karena yang bersangkutan meninggal lebih dulu. Menurut mazhab Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Wajib dibadalhajikan dengan beban biaya dari tirkah atau peninggalannya (harta warisan).