Gamawan Fauzi Sentil Gus Miftah Sebut Rendang Tak Punya Agama
- ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
VIVA – Mantan Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi merespon polemik masakan rendang daging babi yang dijual sebuah restoran online di wilayah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ia menyimak beberapa komentar para tokoh, ahli hingga ulama yang menurutnya membuat persoalan ini melebar kemana-mana, yang justru tidak dipermasalahkan secara substansial oleh masyarakat Minang.Â
Dalam tulisannya yang dikutip VIVA, Kamis, 16 Juni 2022, Gamawan Fauzi menyinggung seorang bergelar Gus yang mempertanyakan, sejak kapan rendang punya agama? Meski tak menyebut Gus siapa yang dimaksud, tentu publik bisa menebak Gus yang dimaksud Gamawan Fauzi.Â
Dalam pemberitaan VIVA sebelumnya, pemuka agama kenamaan Gus Miftah melalui akun Instagramnya, memang sempat aangkat bicara mengenai polemik rendang daging babi itu.Â
Pada intinya, Gus Miftah menegaskan kewajiban makan makanan yang halal adalah bagi umat Islam karena itu perintah agama. Sementara bagi yang non-Islam terserah mau makan makanan seperti apa. Di akhir video unggahannya, Gus Miftah mengatakan 'Ngomong-ngomong sejak kapan ya rendang punya agama?'
Gamawang menganggap pernyataan Gus Miftah anti-mainstream, berlebihan dan  menjangkau hal-hal yang tidak dipermasalahkan secara substansial oleh masyarakat Minang seputar rendang olahan babi.Â
Â
"Dia mempertanyakan sesuatu yang tak dikatakan orang. Orang ke mudik dia ke hilir, tapi demi sekadar berbeda, dia ikut pula bicara, tapi bicara yang menyakitkan orang Minang, walau di awal ucapannya, dia mengutip ayat Alquran, tentang perintah Allah untuk memakan makanan yang baik dan halal," kata Gamawan.
"Saya menyimak semua tulisan, komentar dan pendapat tokoh-tokoh Minang. Pada umumnya suara mereka sama, pandangannya pun serupa dan yang menjadi keberatan mereka pun tak beda," sambungnya
Gamawan menerangkan masalah rendang babi ini berawal dari hal-hal yang sangat prinsip bagi masyarakat Minang. Karena semua orang tahu, rendang adalah masakan Minang, sama halnya dengan gudeg masakan Yogya atau rica-rica masakan Manado atau pempek masakan Palembang, Sumatera Selatan dan berbagai ragam jenis makanan daerah lainnya se Nusantara.Â
Kalaupun ada negara lain yang mengklaim punya produk rendang, itu hanya soal hukum merk, terdaftar-tidak terdaftar, semata urusan bisnis dan mencari keuntungan dari peluang yang tersedia, bukan ikhwal asal muasal, soal siapa atau masyarakat mana sesungguhnya pemilik produk yang sah tersebut.Â
"Saya kira dalam hati dan pikiran kita semua, termasuk mereka yang berbisnis di negara lain, sebenarnya tahu rendang bukanlah karya asal mereka, itu jelas masakan Padang atau Minangkabau. Soal rendang itu masakan khas Minang, sudah bersuluh matahari, bergelanggang mata orang banyak, dan semua mengakuinya," ungkapnya
Menurut Gamawan, masakan itu terkait dengan keyakinan, apa yang akan dimakan, bagi masyarakat Islam tentu tak punya basis masakan yang bahan makanannya diharamkan oleh agama sebagai keyakinan mereka. Itulah sebabnya selama ini, masakan padang identik dengan sesuatu yang halal, atau tegasnya pasti halal. Tanpa label halal pun pasti halal.Â
"Itulah sebabnya selama ini  ketika seorang Muslim yang hendak makan dan mereka ragu tentang kehalalan produk restoran, mereka akan memilih restoran Padang, karena pasti halal, tanpa harus bertanya soal halal haram dan tanpa label halal haram," ujarnya
Merusak Citra
Sementara terkait munculnya restoran BABIAMBO yang memasak rendang daging babi, Gamawan tegas menyatakan hal ini sungguh merusak citra dan image konsumen akan rendang yang selama ini pasti halal.Â
"Mencari uang  silahkan saja, mau berinovasi juga tidak ada yang melarang,  tapi jangan mengganggu sesuatu yang sudah baku, mengganggu milik etnik yang sudah selama ini melekat dengan produk masakannya," tegasnyaÂ
Ia tak menampik dalam dunia bisnis dewasa ini, hampir semua produk dapat ditiru, bahkan dicuri teknologinya, berbagai merk palsu bermunculan, merambah hampir semua produk yang punya pasar bagus. Semua punya barang KW-nya.
Rendang bagi Gamawan, memang produk makanan yang amat laku, sehingga CNN menetapkan rendang sebagai makanan terlezat di dunia tahun 2011, bahkan gelar itu bertahan selama 9 tahun berturut turut hingga 2019 yang lalu. Bahkan ada yang menyebut pantas diberi penghargaan Guiness Book Record.Â
Karena itu sesungguhnya rendang sangat rawan untuk dicaplok sebagai produk industri makanan dunia. Kabarnya saat ini sebuah negara Eropa telah memproduksi rendang besar-besaran dalam bentuk packaging modern yang akan merambah pasar dunia.Â
Pebisnis dimanapun, bisa bayar ahli masak rendang yang enak dengan gaji besar. Setelah ilmunya didapat, kemudian membuang orang yang mengajarnya, karena bisnis seringkali memang kejam dan tak bermoral. Lalu hukum apa yang dapat melindungi produk etnik Minang ini? Â
"Orientasinya sederhana, hanya dapat untung sebanyak banyaknya," terang mantan Menteri Dalam Negeri ini.Â
Gamawan menekankan rendang bukan sekadar produk industri makanan. Pada rendang itu meleka tradisi dan etnik yang bernama Minangkabau. Sedangkan Minangkabau itu adalah sebuah suku bangsa yang menganut falsafah Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah (ABS-SBK). Maka produk masakannya pun tak akan pernah mengandung sesuatu yang dilarang Kitabullah (Alquran), atau haram.Â
"Silakan cari dan telusuri, apakah ada masakan Minang/ Padang selama ini yang tak halal?" kata Gamawan.
"Oleh karenanya, kalau ada yang seorang ahli agama mempertanyakan sejak kapan rendang punya agama, maka itu pertanyaan yang amat dungu, bahasa pasar di Minangkabau disebut dengan istilah 'ongok raya', atau kelewatan gak ngertinya. Dan, sebagai makhluk berakal, saya sarankan Anda sebaiknya banyak membaca dan belajar sebelum bicara. Jangan asal berkomentar bila tak paham. Apalagi sekadar ingin berbeda/ membelintang," imbuhnya
Lebih jauh, mantan Bupati Solok itu mengingatkan tidak semua kehidupan manusia bisa diatur oleh hukum. Pemikiran dan tingkah laku manusia yang begitu dinamis, seringkali membuat hukum terlambat mengantisipasi tingkah laku dan pikiran manusia.Â
Karena itulah dikenal adanya etik, moral dan fatsoen, kepatutan dan kepantasan, supaya pergaulan manusia tetap harmonis.Â
"Bagi orang orang yang ingin memakan daging  babi, silakan saja. Silahkan masak dengan cara apapun, tapi jangan sebut rendang, karena yang namanya rendang sebagai masakan etnik Minangkabau, pasti halal dan harus halal, seperti rendang paru, rendang daging sapi, rendang lokan, rendang pakis dan rendang rendang lainnya yang kini berkembang, tapi semuanya tetap halal," bebernya
Â
Ia mengapresiasi Pemda DKI Jakarta dan aparat Kepolisian polisi yang sigap menangani persoalan yang dapat menimbulkan keresahan sosial dalam masyarakat. Pemda dan aparat Kepolisian langsung memanggil pemilik restoran BABIAMBO itu ketika beritanya muncul di media sosial.Â
"Sejak semula, saya sudah menduga bahwa si pemilik restoran BABIAMBO, pasti tak paham dengan hal-hal yang saya kemukakan ini, dia sekadar manusia yang mencari uang dengan mangaku berinovasi. Tapi janganlah pula ada yang lain ikut nimbrung melukai hati masyarakat Minang, dengan mencari-cari pembenarannya dengan argumen yang dibuat buat," ujarnya
Bagi masyarakat Minang, tentu semua ini ada hikmahnya. Kilek baliwuang lah ka kaki, kilek  camin lah ka muko. Gabak di hulu tando kan hujan, cewang di langik tando kan paneh.Â
Tumbuah di hari sarupo kini nan ko, saatnya untuk berbenah, mencari akal untuk melindungi hal hal yang pantas dilindungi. Jangan sampai terjadi, jalan dialiah urang lalu, cupak diganti urang manggaleh. Lah luluih mako balantai, lah anyuik mangko bapinteh.Â
"Langkah semacam itu bukanlah berarti etnik sentris, justru bagian dari tindakan membela Indonesia, karena bukankah Minangkabau adalah juga kekayaan Nusantara? Bahkan yang disebut budaya bangsa itu adalah puncak-puncak budaya daerah," tandas Gamawan.Â