Akademisi Nilai PK Tak Semestinya Ada Pembatasan

Ilustrasi persidangan secara online.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Ardiansyah

VIVA – Sejumlah akademisi hukum angkat bicara terkait urgensi pembatasan upaya hukum berupa Peninjauan Kembali (PK). Dalam sistem hukum di Indonesia saat ini, semestinya proses pengajuan PK tak perlu dibatasi. Sebab untuk mencari sebuah keadilan tidak terikat oleh waktu.

Akademisi Antikorupsi Ikut Bersuara Bebaskan Mardani Maming

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia atau UII, Arief Setiawan mempertanyakan masih adanya pembatasan PK walau Mahkamah Konstitusi telah memberikan ruang untuk pengajuan PK lebih dari satu kali. Hal itu membuatnya tak yakin para pencari keadilan bisa memperoleh keadilan yang sebenarnya.

"Banyak pencari keadilan gagal menggapai keadilan yang hakiki, sementara upaya untuk pengungkapan fakta baru atau (novum) kandas dengan aturan yang membelenggu," kata Arief dalam keterangannya, yang dikutip Selasa, 31 Mei 2022.

MK Kabulkan Sebagian Gugatan UU Ciptaker Partai Buruh, Ini 21 Pasal yang Diubah

Menurutnya, PK merupakan salah satu bagian dari upaya hukum luar biasa, disamping upaya kasasi, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Disebut sebagai upaya hukum luar biasa karena peninjauan kembali hanya bisa dilakukan apabila seluruh upaya hukum biasa, yakni banding dan kasasi, telah dilakukan. 

"Sehingga, pada esensinya PK merupakan sarana bagi terpidana atau ahli warisnya untuk memperoleh keadilan dan melindungi kepentingan terpidana," ujar Arief.
 
Sementara itu, dosen dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigid Riyanto, mengatakan PK merupakan bagian penting sebagai upaya mencari keadilan bagi terpidana. Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 34/PUU-XI/2013 telah mempertegas bahwa pengajuan peninjauan kembali pada perkara pidana tidak seharusnya dibatasi jumlah pengajuannya. 

Pakar Hukum Undip Serukan Pengkajian Ulang Perkara Korban Makelar Kasus Mardani Maming

Melalui putusan ini, kata Sigid, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang menguraikan permintaan PK hanya dapat dilakukan satu kali saja, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
 
"Konsekuensi dari putusan ini, terpidana sekarang dapat mengajukan permohonan PK lebih dari satu kali sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur," ujar Sigid Riyanto.
 
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menekankan bahwa PK merupakan pengejahwantahan hakikat proses peradilan perkara pidana yang pembuktiannya harus meyakinkan hakim mengenai kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau kebenaran materil, yaitu kebenaran yang di dalamnya tidak terdapat keraguan. 

Dalam mencapai kebenaran materil ini, tidak seharusnya ketentuan yang bersifat formalitas membatasi upaya terpidana dan hakim untuk mencari keberanan materil. Salah satunya pembatasan pengajuan permohonan PK hanya satu kali.

Menurut Sigid, dalam putusan itu Mahkamah Konstitusi berkeyakinan bahwa keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa berupa PK hanya dapat diajukan satu kali. 

"Karena mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial ditemukan yang pada saat PK sebelumnya belum ditemukan," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya