Pemerintah Diharapkan Patuhi MA, Sediakan Vaksin COVID-19 Halal

Pelaksanaan vaksinasi
Sumber :
  • Istimewa

VIVA - Ketua Pos Bantuan Hukum Revolusioner (PBHR) Sumatera Utara, Achmad Sandry Nasution, menyampaikan kegiatan vaksinasi COVID-19 masih banyak menggunakan jenis vaksin yang belum terjamin kehalalannya. Padahal Mahkamah Agung sudah mewajibkan pemerintah menggunakan vaksin halal.

Pemerintah Kalimantan Timur Gandeng Malaysia Buat Kendalikan Dengue

Ilustrasi vaksin COVID-19 untuk lansia.

Photo :
  • Istimewa

Tidak Rugikan Umat Islam

Dapat Dukungan Pemerintah, BNI Bakal Koordinasi dengan Para Kreditur Sritex

“Jangan sampai vaksinasi ini malah merugikan umat Islam, dengan diberikan suntikan vaksin yang mengandung zat babi, ini tidak bisa diterima,” kata Sandry dalam siaran pers diterima wartawan, Kamis, 12 Mei 2022.

Advokat lulusan Universitas Sumatera Utara itu mengingatkan umat Islam wajib mengonsusmsi sesuatu yang halal dan menghindari yang haram termasuk barang yang mengandung babi. Hal itu sudah ditegaskan dalam Alquran dan Sunah Nabi.

Kasasi Ditolak MA, Sritex Dinyatakan Tetap Pailit

“Vaksin halal itu bentuk kewajiban pemerintah memberikan perlindungan hak hukum bagi umat Islam agar tidak mengkonsumsi barang haram," katanya.

Vaksin Wajib Punya Sertifikat Halal

Dia mengatakan vaksin adalah jenis obat dan produk biologi yang wajib memiliki sertifikat halal sesuai aturan UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Maka, jika pemerintah tidak juga mengubah seluruh regulasi pasca keluarnya Putusan MA tersebut, dengan memberikan vaksin halal bagi umat Islam, ia akan menuntut presiden, Kemenkes dan seluruh jajaran terkait ke pengadilan.

"Karena ini pelanggaran hukum yang nyata,” katanya.

Pelaksanaan vaksinasi (ilustrasi)

Photo :
  • Istimewa

Sampai hari ini, fatwa MUI yang menegaskan kehalalan vaksin adalah jenis Sinovac, Zivivac, vaksin merah putih. Sementara dalam program booster, pemerintah masih menggunakan vaksin jenis Astrazeneca, Moderna, Pfizer sebagai vaksin.

“Padahal mereka belum memenuhi syarat sebagaimana UU JPH tadi, itu tidak boleh diberikan kepada umat Islam, karena melanggar putusan MA, itu zalim,” kata Sandry.

Belum Patuhi Putusan MA Sampai Hari Ini

Dia melihat pemerintah belum mematuhi putusan Mahkamah Agung soal vaksin halal sampai hari ini. Menurutnya, hal itu telah berakibat fatal.

"Karena dengan tidak dipatuhinya putusan MA tersebut, akan merusak tatanan ketatanegaraan Indonesia," ujarnya.

Vaksinasi pemudik di Pelabuhan Merak

Photo :
  • Istimewa

Sandry menuturkan sebulan setelah keluarnya putusan tersebut pemerintah belum juga mematuhinya. Baginya, itu merupakan bentuk perbuatan melanggar hukum yang nyata dilakukan pemerintah.

"Ini akan menimbulkan konsekuensi hukum, karena Indonesia ini adalah negara hukum,” katanya.

Vaksinasi Tak Mendasarkan Putusan MA

Dia menyatakan sejak keluarnya putusan MA tersebut, program vaksinasi yang dijalankan pemerintah dan jajarannya masih tidak mendasarkan pada putusan MA itu.

“Selama masa lebaran dan arus mudik, vaksinasi masih menggunakan jenis vaksin yang tidak merujuk pada putusan MA. Ini pelanggaran hukum,” katanya lagi.

Gerai vaksinasi booster oleh nakes Kesdam IV Diponegoro di Bandara Ahmad Yani.

Photo :
  • Teguh Joko Sutrisno/ tvOne.

Sandri menambahkan dampak dari putusan MA tersebut pemerintah harus menyediakan jenis vaksin halal bagi umat Islam. Menurutnya, itu adalah kewajiban negara yang telah disahkan oleh putusan MA.

"Tidak bisa diganggu gugat lagi," katanya.

Vaksin Halal Mutlak Bagi Umat Islam

Hal senada disampaikan Sekretaris Bidang Hukum Korps Alumni HMI (KAHMI) Sumatera Utara Taufik Umar Dhani Harahap bahwa vaksin halal ini mutlak harus diberikan kepada umat Islam. Jika tidak, dia menilai hal itu adalah pelanggaran hak asasi manusia, umat Islam dirugikan secara nyata.

“Kami akan tuntut pertanggungjawaban ini baik di pengadilan dan di manapun,” katanya.

Mahkamah Agung telah mengeluarkan Putusan Nomor 31P/HUM/2022 yang memutuskan kewajiban pemerintah untuk memberikan kehalalan jenis vaksin yang dipergunakan untuk COVID-19. Putusan tersebut dikeluarkan pada 14 April 2022 lalu.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya