100 Tahun Rosihan Anwar, Keluarga Gelar Doa Bersama
- Antara/ Fanny Octavianus
VIVA – Rosihan Anwar, seorang tokoh pers, sejarahwan, sastrawan, dan budayawan Indonesia. Rosihan merupakan seorang penulis yang produktif di masa hidupnya.Â
Rosihan lahir di Sumatera Barat, pada 10 Mei 1922. Persis Selasa hari ini, 10 Mei 2022, Rosihan Anwar kembali dikenang dalam memori satu abad kehadirannya yang telah mewarnai Tanah Air lewat karya dan jejak-jejak hidupnya.
Selasa 10 Mei 2022, keluarga dan sahabat menggelar peringatan Seabad Rosihan Anwar. Terdapat sejumlah rangkaian kegiatan yang digelar secara daring, mulai dari doa, tahlil, dan cerita-cerita mengenai Rosihan.
Rosihan merupakan anak keempat dari sepuluh bersaudara, pasangan Anwar Maharaja Sutan dan Siti Safiah. Ayahnya adalah seorang demang di Padang, Pantai Barat Sumatra. Dia menyelesaikan sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke AMS-A di Yogyakarta (sekarang SMA Negeri 1 Yogyakarta).
Dari sinilah, Rosihan kemudian mulai mengikuti berbagai pelatihan di dalam negeri maupun di luar negeri. Beberapa tempat di luar negeri yang pernah didatangi Rosihan untuk mengikuti pelatihan adalah Universitas Yale dan School of Journalism di Universitas Columbia, New York City, Amerika Serikat.
Rosihan mengawali karirnya sebagai wartawan pada usia 20 tahun. Saat itu merupakan masa pendudukan Jepang di Indonesia. Sejak itulah, gejolak perjuangannya dimulai untuk membebaskan Indonesia dari segala bentuk penjajahan dan penimdasan dari bangsa asing maupun bangsa sendiri.
Rosihan memulai karier jurnalistiknya sebagai reporter di Asia Raya masa pendudukan Jepang tahun 1943. Di tahun 1945 hingga 1946, ia menjadi redaktur Harian Merdeka. Rosihan juga pendiri sekaligus pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Siasat pada tahun 1947 sampai 1957 dan Harian Pedoman pada periode 1948 hingga 1961 dan tahun 1968 sampai 1974.
Sebagai seorang wartawan, Rosihan banyak mengukir momen sejaraj bagi Indonesia. Salah satunya adalah ketika berboncengan sepeda motor dengan Soeharto yang pada saat itu masih berpangkat Letnan Kolonel menemui Jenderal Sudirman untuk menyiapkan Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
Dalam sejarah pers Nasional, Rosihan ikut mendirikan PWI di Solo 9 Februari 1946. Dalam karirnya sebagai seorang wartawan, Rosihan dikenal sebagai bengawan pers dan Ayatollah Wartawan Indonesia.
Kemudian, pada masa Orde Baru, ia menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada periode 1968 sampai 1974. Di tahun 1973, Rosihan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh pers Jakob Oetama.
Namun kurang dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang itu di lehernya, Harian Pedoman miliknya ditutup.
Dalam menulis, tak seorang pun yang bisa menghentikan Rosihan, kecuali Tuhan. Bahkan, dia sempat dibui lantaran perjuangannya di masa penjajahan Jepang kala itu.
Tidak hanya menulis untuk media masa, Rosihan juga melahirkan banyak buku. Misal, buku terakhirnya, Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia: Jilid 1-4.
Para kerabat menyebut Rosihan Anwar adalah seorang pejuang kemerdekaan, pemikir, pelaku dan pencatat sejarah, termasuk guru para wartawan. Banyak yang menjadikannya sebagai sosok teladan, bahkan hingga saat ini.
Rezim pemerintahan Soekarno maupun Soeharto hanya berhasil membunuh surat kabarnya, Harian Pedoman, namun kedua pemimpin besar Indonesia itu tak bisa 'mengalahkannya'. Dia tetap melakoni pekerjaannya sebagai wartawan, mengkritisi rezim siapapun yang menjalankan pemerintahan di Indonesia.
Dan benar saja, pada 14 April 2011, Rosihan berhenti menulis. Ia meninggal dunia di hari Kamis pagi, tepat pukul 08.23 WIB, di Jakarta. Ia meninggal dunia kurang dari sebulan menjelang ulang tahunnya yang ke-89.
Ia diduga terkena gangguan jantung dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Selatan.
Karier di Perfilman Indonesia
Pada tahuh 1950, Rosihan Anwar bersama Usmar Ismail ia mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). Ia lalu memproduksi beberapa film.
Dalam film pertamanya bertajuk 'Darah dan Doa', Rosihan sekaligus tampil sebagai salah satu tokoh figuran. Ia kemudian menjadi produser film 'Terimalah Laguku'.
Sejak akhir 1981, ia mempromosikan film Indonesia di luar negeri dan tetap menjadi kritikus film sampai akhir hayatnya.
Karier Rosihan Anwar
1. Tahun 1947 mendirikan dan memimpin warta sepekan Siasat (1947-1957), mendirikan dan memimpin harian Pedoman tahun 1948-1961 dan 1968-1974, dan terakhir menjadi pemimpin redaksi Citra Film (1981-1982).
2. Dia pernah menjadi koresponden Hindustan Times, New Delhi, India (968-1969), World Forum Forum Features, London, Inggris (1966-1968), majalah mingguan Asia, Hongkong (1970-1971), Asiaweek, Hongkong (1979), The Age (Melbourne, 1967-1968), kolumnis dan reporter surat kabar The Straits Times, Singapura (1976-1981), The New Strait Times, Luala Lumpur, Malaysia (1976-1981), dan editor untuk Indonesia majalah Asia-Pacific.
3. Di dalam negeri Rosihan Anwar tercatat sebagai kolumnis buletin Business News, Jakarta (1963); surat kabar Kompas, harian Kami, dan Angkatan Bersenjata, Jakarta (1966-1968); surat kabar Pos Kota, majalah Kartini, dan majalah Selecta, Jakarta; surat kabar Pikiran Rakyat, Bandung; Waspada Medan; Haluan Padang, Lampung Pos Bandar Lampung; Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Surabaya Pos, Bali Pos, Banjarmasin Pos, dan Pedoman Rakyat Makassar.
4. Dalam kariernya sebagai ahli jurnalistik, Rosihan pernah menjadi Ketua Umum PWI Pusat (1970-1973), Ketua Pembina PWI Pusat (1973-1978 dan 1978-1983); Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat (1983-1988), Direktur Program Karya Latihan Wartawan PWI Pusat, anggota Tim Ahli Lembaga Pertahanan Nasional (1973-1974), anggota Pengurus Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (1969), anggota Staf Pusat Pembinaan Sumber Daya Manusia, anggota Asia Mass Communication Research and Information Centre (Sungapura, 1971), anggota MPR untuk fraksi Golkar (1973-1978), anggota Dewan Film Nasional, dan konsultan UNESCO yang bertugas di Sri Lanka (1980).
5. Antara tahun 1963-1968 sempat bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di bidang mesin perkapalan, Indo Marino, Jakarta. Dunia perfileman dan drama ia tekuni sejak tahun 1944. Bersama Usmar Ismail ia membentuk kelompok sandiwara amatir Maya.
6. Kemudian tahun 1950 mendirikan perusahaan film sendiri yang diberi nama Perfini. Film pertama yang digarapnya adalah Darah dan Do'a. Beberapa film lainnya Lagi-Lagi Krisis (1956), Big Village (1970), Karmila (1975), dan Tjoet Nja' Dien (1987-1988), serta sandiwara Mahkamah (1989).
7. Sejak tahun 1977 menjadi anggota Dewan Film Nasional (DFN). Pada tahun 1986-1989 menjadi Ketua Dewan Pembina Persatuan Perusahaan Film Indonesia dan Ketua Dewan Kehormatan (1989-1992).