Kepala BNPT: Kelompok Teroris MIT Sudah di Pengujung
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan bahwa kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang berbasis di Sulawesi Tengah sudah hampir tamat setelah seorang lagi yang tersisa di antara mereka, Askar alias Jaid alias Pak Guru, ditembak mati pada 27 April 2022.
"Kelompok ini sudah di pengujung," kata Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar, dalam wawancara eksklusif dengan The Interview, di Jakarta, Kamis, 28 April.
Berdasarkan hasil identifikasi aparat, anggota kelompok MIT yang tersisa sekarang tinggal dua orang, yakni Nae alias Galuh alias Mukhlas dan Suhardin alias Hasan Pranata. Mereka diyakini masih berkeliaran di sekitar pegunungan Poso, Parigi Moutong, dan Sigi.
Namun, Boy meyakini, mereka bakal segera ditangkap atau dilumpuhkan oleh aparat gabungan Satgas Madago Raya. Sebab, selain jumlah kelompok yang telah menyusut habis, mereka tak lagi mendapatkan dukungan perlindungan maupun logistik dari masyarakat setempat.
Selain itu, katanya, keduanya bukan tipe pemimpin sehingga tak memiliki kemampuan untuk merekrut anggota baru dan menggalang kekuatan atau dukungan. "Yang dua ini, kami yakin, dalam posisi terjepit dan tidak ada pengikutnya. Dua ini kualitasnya lebih kepada follower. Jadi mereka bukan leader--ketokohannya."
Pemimpin terakhir MIT, Ali Kalora, telah ditembak mati oleh aparat pada September 2021. Hanya dialah, kata Boy, yang memiliki kemampuan memimpin dan merekrut anggota setelah pemimpin utamanya, Santoso, tewas dalam baku tembak dengan aparat pada Juli 2016.
Operasi segera selesai
Keberadaan Nae alias Galuh alias Mukhlas dan Suhardin alias Hasan Pranata memang masih diburu. Tetapi, kata Boy, riwayat mereka segera berakhir. Setelah Santoso dan Ali Kalora tewas, kelompok yang berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) itu kian melemah.
Dahulu, menurutnya, MIT masih banyak mendapatkan dukungan logistik dan perlindungan dari sebagian kelompok masyarakat setempat yang bersimpati kepada mereka. Namun, sekurang-kurangnya dalam lima tahun terakhir, seiring aparat menjalankan program kontraterorisme dan kontraradikalisasi, "masyarakat pada posisi tidak lagi memberikan dukungan pada mereka".
"Kami yakin tidak akan ada orang yang ikut dengan mereka. Jadi mungkin hanyalah masalah waktu," ujar mantan kepala Divisi Humas Mabes Polri itu.
Meski demikian, Boy mengakui, operasi perburuan kelompok MIT memang tidak mudah. Operasi perburuan, yang melibatkan ribuan personel TNI dan Polri, telah dilancarkan sejak tahun 2015 dengan sandi Operasi Camar Maleo, kemudian diubah menjadi Operasi Tinombala pada 2016, lantas dilanjutkan dengan Operasi Madago Raya pada 2021.
Kendala utama operasi perburuan itu sampai bertahun-tahun, Boy mengklaim, karena medan pegunungan dan kelompok itu mendapatkan dukungan dari sebagian masyarakat.
Santoso dan pengikutnya, menurut Boy, yang merupakan alumni pelatihan militer ilegal di Pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar, Aceh, pada 2010, sempat berhasil membangun basis kekuatan di Poso dan sekitarnya. Mereka memanfaatkan sentimen negatif dampak konflik bernuansa SARA di Poso pada 1998-2001.
"Hari ini kita bersyukur masyarakat Poso, Parigi [Moutong], Sigi sudah mulai menjauh dari mereka. Jadi mereka bahkan saat ini berjalan sendiri," katanya.