Kartini: Kadek Dwita, Perempuan Bali Pertama Bergelar Doktor Politik
- VIVA/Ni Putu Putri Muliantari
VIVA – Perjalanan pendidikan seorang perempuan bak Kartini versi Bali dilalui Kadek Dwita Apriani, penyandang gelar Doktor Ilmu Politik perempuan pertama dari Pulau Dewata. Bernama lengkap Dr. Kadek Dwita Apriani, S.Sos, M.I.P, perempuan ini berhasil menyelesaikan pendidikan S3-nya di Universitas Indonesia pada tahun 2019 silam.
Perempuan yang lahir di Denpasar, 24 April 1988 ini mendedikasikan dirinya dibidang pendidikan keilmuan politik, ilmu yang terdengar menyeramkan bagi kebanyakan perempuan di Bali.
Dwita saat ini dikenal sebagai seorang ilmuwan politik, statusnya sebagai perempuan tak membatasi ruang geraknya dibidang yang kerap dianggap terlalu maskulin tersebut. Singkat kisah, saat ditemui ditempatnya mengajar, Kamis, 20 April 2022, Kadek Dwita menceritakan lika-liku perjuangannya.
Putri dari pengacara kondang Nyoman Gde Sudiantara ini, menyadari potensinya sejak awal.
Sejak berada dibangku SMP, Dwita sudah tak asing dengan kehidupan politik di sekolah, mendistribusikan kekuasaan melalui organisasi maupun klub ekstrakulikuler.
Saat berada di Sekolah Menengah Atas, bahkan siswi SMAN 1 Denpasar ini sudah merasakan election (pemilihan) pertamanya, dan terpilih sebagai ketua OSIS pada saat itu.
Didukung pula oleh lingkungan keluarga yang tak mendiskriminasi gender perempuan dan laki-laki, Dwita semakin percaya diri untuk menggali potensi.
Saat itu, perempuan asli Denpasar ini melihat sebuah brosur kuliah yang menawarkan jurusan 'Ilmu Politik' dengan satu kalimat yang menjelaskan bahwa jurusan tersebut akan mempelajari ilmu tentang kekuasaan.
Tanpa ragu, Dwita menjatuhkan pilihannya untuk melanjutkan studi di Ilmu Politik, jurusan yang tak terdengar menarik bagi kawan-kawannya yang saat itu lebih tertarik melanjutkan studi kedokteran atau ekonomi.
Sempat disebut gila oleh rekan satu organisasinya, perempuan usia 34 tahun ini turut ditentang ayahnya, padahal sejak kecil lingkungan keluarganya sangat suportif dalam hal gender.
"Dia (ayah) pengen punya anak dokter. Katanya, kamu tau enggak jurusan Ilmu Politik itu jurusan yang paling dekat dengan penjara," ujar Dwita menceritakan penolakan ayahnya.
Ngotot dengan pilihannya, ahli statistika yang satu ini akhirnya diberi kesempatan oleh sang ayah. Selama berkuliah Strata 1 di Universitas Indonesia (UI), Kadek mendapati dirinya tak se-spesial saat di Bali, ia harus menerima realitas bahwa orang-orang yang berkumpul di sana memiliki jiwa kompetitif yang tinggi.
Namun lagi-lagi momen yang tepat mengantarkannya untuk jadi lulusan tercepat saat itu, sejak saat itu minat politiknya semakin jelas. Sejak semester 5, Dwita sibuk menjadi asisten lab Ilmu Politik dan mempelajari segala hal tentang statistika dan kepemiluan menjelang pemilu 2009.
Setelah lulus, sebuah lembaga survei menawarkannya pekerjaan. Untuk meningkatkan kualitasnya sebagai konsultan politik, Kadek Dwita memutuskan melanjutkan studi S2 di Departemen Ilmu Politik UI pada tahun 2010.
Bekerja sekaligus kuliah dengan bantuan beasiswa unggulan, perempuan Bali ini berhasil menyelesaikan S2 secepat kilat hingga awal tahun 2012. Dwita akhirnya kembali ke Pulau Dewata untuk menjalankan misinya dengan menjadi seorang akademisi.
"Saya pulang ke Bali karena ingin mengajar, saya ingin perempuan di Bali itu punya perspektif, memahami apa itu kesetaraan dan keluar dari stereotip yang selama ini secara tidak sadar mereka konsumsi," jelasnya.
Tolak Politik Praktis
Kultur di Bali yang erat membedakan pengaruh kekuasaan laki-laki dan perempuan membuatnya yakin untuk menyebarkan ide soal kesetaraan lewat mahasiswa dilingkup kampus. Pada tahun 2015 akhirnya Kadek Dwita kembali meneruskan studi S3-nya di Departemen yang sama, yaitu Ilmu Politik UI.
Disertasinya berhasil final pada tahun 2019, saat momen sidang bahkan sejumlah pejabat hadir seperti salah satunya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Bintang Puspayoga.
Hingga kini, perempuan Bali pertama penyandang gelar Doktor Ilmu Politik tersebut tak ada keinginan berkecimpung ke arah politik praktis.
"Kalau ada teman yang minta bantuan untuk pandangan politik, ide politik, saya lihat itu sebagai peluang untuk memasukan ide tentang kesetaraan. Harus ada yang menjaga kewarasan. Ketika kita jadi akademisi dan ketika jadi praktisi kita bisa saja berubah," sambungnya.
Direktur di salah satu lembaga survei ini mengakui layaknya feminis lainnya, ia ingin turut ambil bagian di jalur pendidikan. Sosok Kartini digambarkan sebagai representasi perjuangan perempuan yang perlu belajar betapa pentingnya pendidikan untuk perempuan di negeri ini.
"Ayo kita berpikir terbuka, kita hargai diri kita bukan melihat gender, tetapi sebenarnya di Bali walaupun kulturnya sangat patriarki, ada ruang-ruang yang bisa kita isi lebih egaliter dibandingkan cara kita hidup hari ini. Dalam artian kita mampu berpikir kritis dan memimpin, kita sebenarnya punya kesempatan yang sama," pesannya.