Sri Hartini Perempuan Penjaga Hutan Adat Satu-satunya di Yogyakarta
- bbc
Radia mengaku pernah melakukan penelitian di sana dan mendapati bahwa masyarakatnya sangat percaya pada hukum adat yang tidak tertulis. Misalnya, masyarakat tidak berani mengambil sesuatu dari hutan karena bisa menimbulkan malapetaka.
Melestarikan alam dan budayanya
Setiap tahun, warga Desa Beji menggelar upacara adat Sadranan. Pelaksanaannya setiap habis panen padi sawah, atau padi yang ditanam setelah musim hujan seperti saat ini. Sadranan merupakan acara adat sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang berlimpah, dan kelestarian alam.
Masyarakat membawa hasil panen dan aneka makanan ke Lembah Ngenuman. Setelah berdoa, makanan yang mereka bawa disantap bersama, sebagai bentuk kebersamaan untuk menyambung tali persaudaraan.
"Kami bersyukur kepada Yang Kuasa karena bisa panen dan berharap besok bisa panen lagi dengan hasil yang melimpah," ujar Sri.
Setiap acara adat yang diselenggarakan, seperti Sedekah Bumi, Bersih Dusun dan Sadranan, masyarakat juga memainkan alat musik rinding gumbeng. Ini adalah musik khas Gunungkidul yang sampai sekrang masih dilestarikan di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul.
"Pada jaman dahulu untuk mengiringi upacara adat," kata Sri yang juga menjadi ketua Kelompok Seni Rinding Gumbeng, Ngluri Seni.
Alat musik ini terbuat dari kulit bambu. Lebarnya seukuran dua jari dan panjangnya sekitar 15-20cm. Ada benangnya di bagian ujung. Jika ditarik-tarik maka akan mengeluarkan suara khas: beung… beung…. beung….
Menurut Sri, perlu bakat tersendiri untuk memainkan alat musik rinding gumbeng. Tapi siapa saja bisa mempelajarinya asal tekun. Dan biasanya, yang memainkan alat musik rinding gumbeng adalah lelaki, tapi Sri pun bisa memainkannya.
Terlaksananya upacara adat Sadranan dan lestarinya alat musik rinding rumbeng, tak lain karena masyarakat Beji masih percaya pada hukum adat dan memegang teguh warisan leluhur.
Masyarakat sekitar hutan juga percaya dengan cerita tutur dari nenek moyang mereka yang tinggal di sekitar Hutan Adat Wonosadi.
Menurut Sri, Hutan Adat Wonosadi adalah petilasan dari keturunan kerajaan Majapahit, Raja Brawijaya V. Saat Majapahit kalah perang melawan Demak, istri selir Raja Brawajiya V, Rara Resmi melarikan diri ke wilayah Hutan Wonosadi, bersama kedua anaknya: Onggoloco dan Gadhingmas.
"Mereka lalu mendirikan padepokan di Lembah Ngenuman. Itu pelataran yang sekarang sering digunakan acara adat Sadranan," ujar Sri.
Saat Hutan Wonosadi mengalami pembalakan liar, hanya tersisa empat pohon di Lembah Ngenuman. Sampai sekarang, keempat pohon besar itu masih ada.
"Itu yang masih kita lestarikan. Dan setahun sekali melakukan upacara adat Sadranan," ujar Sri.
Wonosadi sendiri secara harafiah berarti `hutan yang penuh rahasia`. Menurut Sri, Wono artinya hutan, dan Sadi berasal dari kata sandi.
"Hutan yang banyak rahasia. Dan kita masih memegang adat serta rahasianya," imbuhnya.