Profil Cak Nun yang Bicara 'Presiden Sekarang Belum Tepat'
- VIVA/Dwi Royanto
VIVA – Budayawan Emha Ainun Najib alias Cak Nun sedang menjadi perbincangan hangat saat ini. Hal itu lantaran pernyataan mencengangkan saat ceramah di kantor PDI Perjuangan.
Selain itu, dalam tausiah Kebangsaan dan Kenegarawanan di kantor PDI Perjuangan, Lenteng Agung, Minggu malam, 10 April 2022, menyinggung potensi Indonesia sebagai bangsa yang maju dan besar karena memiliki akar sejarah dan ilmu pengetahuan-peradaban yang tinggi di dunia. Ia juga mengatakan bahwa sekarang ini presidennya belum tepat. Lantas, siapakah sosok Cak Nun? Simak ulasannya berikut ini.
Profil Cak Nun
Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun merupakan seorang seniman, budayawan, intelektual muslim, dan juga penulis asal Jombang, Jawa timur. Ia merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi.
Cak Nun lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Ia adalah anak keempat dari 15 bersaudara. Ia sempat menempuh pendidikan formalnya di Universitas Gadjah Mada (UGM) fakultas Ekonomi. Namun ia hanya berakhir di Semester 1.
Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Gontor Ponorogo karena melakukan ‘demo’ melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Diketahui jika istrinya bernama Novia Kolopaking. Istrinya dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi.
Cak Nun pernah menggelandang di Yogyakarta
Ia pernah hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha.
Selain itu ia juga sempat mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, hingga sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat.
Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Bulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10 hingga 15 kali per bulan bersama Musik Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung.
Cak Nun juga menyelenggarakan acara Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang digelar di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta merupakan forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender.
Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulan, itu pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Cak Nun seringkali menolak dipanggil kiai. Ia meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagaman.
Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi.
Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik Kiai Kanjeng di taman budaya, maya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti yang berpangkalan di pelayanan.
Karier Cak Nun
Karir Cak Nun diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976). Setelah itu menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng hingga kini. Ia pun juga sebagai penulis puisi dan kolumnis di beberapa media.
Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).